Chapter 27

67 5 0
                                    

Sabtu pagi. Aku terbangun dengan mata sembab. Sepulang dari Mal 5 semalam aku langsung meringkuk di kasurku dan menangis sekeras yang kubisa, tapi cukup pelan agar tidak terdengar oleh Ra di kamar depan. Sial, apa sebenarnya yang kutangisi?

Edgar rasanya tidak pantas untuk kutangisi. Dia hanya cowok brengsek yang melakukan apa pun untuk mencapai kemauannya. Dia ingin aku percaya padanya dengan cara menciumku di depan Tita? Bodoh sekali! Aku tidak mengerti jalan pikirannya. Tidakkah dia berpikir efek ke depannya. Semua orang jadi tahu hubungan kami sebenarnya.

Edgar bodoh! Brengsek! Sialan!

Berkali-kali kuumpat namanya dalam tangisanku tapi aku tidak puas juga. Kutatapi tanganku yang meninjunya dengan keras. Aku bangga bisa melakukannya. Dia pantas menerimanya. Dia lebih dari pantas. Aku menyesal telah membuka pintu hatiku padanya. Aku menyesal telah memberinya kesempatan untuk menyukaiku.

Kepalaku sedikit pusing karena terlalu lama tidur. Aku mencoba berdiri dan rasanya darahku langsung mengalir turun sampai kaki. Sial. Aku lelah sekali. Aku ke kamar mandi untuk mencuci muka dan turun ke bawah untuk sarapan.

Kulihat papa sedang di ruang makan, dia sedang membaca-baca sesuatu dari iPadnya. Ada segelas kopi hangat di sebelahnya. Kurasa mama dan papa tidak ada rencana pergi kemana-mana hari ini. Sama sepertiku. Aku ingin mengurung diri di kamar saja hari ini.

Aku duduk di meja makan sambil menatap kosong ke rak-rak kabinet di dapur. Aku lapar tapi aku tidak ingin makan. Aku ingin rasa laparku menyiksaku sehingga perasaan terluka di hati ini bisa tersamarkan. Sial, Edgar! Sialan! Kuumpat lagi namanya dalam hati.

"Begadang, Ri?" Tanya papa tanpa mengangkat pandangannya dari iPad.

"Iya, pa," aku berbohong. Aku hanya tidak ingin dia cemas kalau tahu anak sulungnya telah menangis semalaman karena cowok.

"Sarapan dulu sana. Ambil sendiri. Mama kamu lagi ke rumah bu Atik."

"Nanti dulu, Pa. Masih belum laper."

Papa menutup iPadnya. Dia menyeruput kopinya sambil terus menatapku. Badannya dicondongkan sedikit ke depan kemudian berkata, "berarti Papa omongin sekarang aja."

Aku menatap papa bingung. Omongin apa? Rasanya aku sedang tidak ada urusan penting dengannya.

"Tentang?" Tanyaku.

"Kamu dan Edgar."

Hah? Ada apa ini. Kenapa papa tiba-tiba ingin membicarakan sesuatu tentangku dan Edgar. Pikiranku melayang sampai kesimpulan yang menakutkan, apa yang papa tahu?

"Papa tahu?" Aku sedikit gugup.

"Papa hanya bisa menebak-nebak. Dan insting seorang ayah mengatakan bahwa ada sesuatu antara kalian berdua. Ada apa sebenarnya, Ri? Cerita sama papa."

Sial. Ini beneran papa tahu hubunganku dengan Edgar? Papa tahu kalau aku menyukainya dan dia juga menyukaiku. Bahkan kami pernah berhubungan badan di bawah atap rumah ini. Apa ini yang papa tahu?

"Gak ada apa-apa kok, Pa," aku berkilah.

"Ari. Edgar beberapa hari yang lalu setiap malam cariin kamu. Mukanya terlihat cemas, khawatir, tapi dia gak mau ngasih tahu ada masalah apa. Papa harap kamu bisa mau cerita ke papa."

"Hmm.. masalah cewek, Pa."

"Kalian berantem cuma karena rebutan cewek?" Papa menebak. Tidak sepenuhnya benar karena sepertinya papa berpikir aku dan Edgar berebutan cewek. Akhirnya kusimpulkan papa tidak tahu hubunganku dengan Edgar. Dia hanya tahu ada masalah antara aku dan Edgar, dan tidak punya petunjuk apa pun tentang apa yang kami pertengkarkan.

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang