Chapter 7

94 2 0
                                    

Ternyata mengenakan kemeja PDL ini lebih menarik perhatian orang-orang dibanding aku bertelanjang dada. Karena aku berpakaian beda dari yang lain, aku jadi sasaran empuk para senior ketika ada yang disuruh maju ke depan. Baik untuk games atau sekedar ditanya-tanya. Tidak hanya di fakultas tapi sampai acara jurusan juga. Aku berharap hari ini bisa segera berakhir dan kembali menggunakan baju putih SMA besok.

Setelah semua rangkaian acara selesai, Ra menelponku.

"Kak Ri dimana?"

"Di kampus lah."

"Iya lagi dimananya?"

"Masih di gedung fakultas, baru kelar ini. Kenapa sih?"

"Kak Edgar udah nungguin di kantin fakultas hukum katanya, mau pulang."

Oh iya, aku dan Edgar belum janjian pulang jam berapa. Dan bodohnya lagi, aku belum punya nomor ponselnya dan aku belum memberikan nomorku padanya.

"Yaudah ini langsung kesana. Kirimin nomornya Edgar, Ra."

"Tanya aja sendiri, kan mau ketemu. Dah ya, bye." Et dah apa susahnya tinggal kirimin nomor doang. Kalau nanti aku ga ketemu Edgarnya gimana? Punya adik satu resek banget.

Baiklah kalau begitu aku langsung menuju kantin tadi, dimana aku melihat Edgar makan seorang diri. Kulihat jam sudah pukul 5 sore.

Aku berjalan keluar gedung fakultas teknik sendirian. Entah dimana Ditto dan Tian berada. Mungkin Ditto masih belum kelar dengan jurusannya, atau jangan-jangan sudah pulang duluan. Sementara Tian, terakhir kulihat dia pamit ke toilet.

Dari kejauhan kulihat Edgar sedang duduk di kantin sendirian lagi. Tapi kali ini dengan beberapa buku di hadapannya dan dia sibuk mencatat. Dia menyadari kedatanganku dan sudah menutup semua buku catatannya saat aku duduk di hadapannya.

"Hari pertama langsung dapet PDL jurusan? Keren juga anak teknik." Komentarnya dengan nada sarkas.

Aku benar-benar tidak ingin membahas ini. Edgar jadi orang ke ratusan yang berkomentar tentang pakaianku. Dari sesama mahasiswa baru sampai dosen sudah menanyaiku semua.

"Udah yuk langsung balik." Biar aku bisa langsung melepas kemeja PDL ini.

"Lu lama, gue udah mesen makanan."

"Yaudah, gue juga makan dulu. Apaan yang enak disini?" Aku memandangi dari jauh deretan kios makanan yang ada. Sepertinya lengkap, dari kios yang menjual mi instan sampai ada tongseng kambing. Nah, jadi pengen tongseng.

Saat aku hendak bangkit, ada seorang ibu mengantarkan soto betawi ke meja kami. Sepertinya ini pesanan Edgar.

"Bu, satu lagi ya," kata Edgar sopan.

"Buat siapa?"

"Lu lah."

"Gue mau beli tongseng."

"Gimana sih? Tadi lu nanya yang enak apa, ya ini yang enak. Gue pesenin," dia mengomel lagi.

"Ja.. jadi gak mas?" tanya ibu itu, tentu dia bingung.

"Jadi, bu," tukas Edgar lalu ibu itu langsung meninggalkan kami.

"Resek lu." Aku menggerutu kesal.

Edgar tidak menanggapi, dia mulai sibuk dengan makanan di hadapannya. Aku sadar belum ada minuman, aku langsung bangkit sebelum Edgar memutuskan minuman yang harus kupilih.

"Kemana?"

"Beli minum," jawabku dan langsung ngeloyor pergi.

Aku memesan jus melon di kios ujung. Kios yang khusus menjual minuman. Aku sedang memilih minuman untuk Edgar. Dia boleh memilihkan makanan untukku, tapi kini saatnya aku memilih minuman untuknya.

"Satu lagi apa mas?" tanya penjual saat selesai membuat jus melonku.

Aku masih bingung. Es teh manis terlalu biasa. Jus lainnya aku tidak terlalu suka. Baiklah, sama saja kalau begitu. Minuman favoritku, "jus melon juga deh."

"Yah si mas, dari awal dong bilang jus melonnya dua. Jadi saya ngeblendernya sekali aja," keluhnya.

Aku hanya cengengesan karena merasa bersalah. Tidak makan waktu lama jus melon kedua sudah siap. Aku membawa keduanya di masing-masing tanganku. Dari jauh kulihat ibu soto tadi sedang meletakkan makananku di hadapan Edgar.

"Ri!"

Langkahku langsung berhenti. Hampir saja aku menabrak orang di depanku. Mungkin satu langkah lagi, akan tumpah semua jus melon di kedua tanganku.

"Kak Taufan?"

"Lu jalan meleng mulu. Jadi nyesel gue merasa bersalah tadi siang," sindirnya.

Aku nyengir kuda menanggapinya. Ya memang tabrakan tadi siang salahku juga. Aku terlalu fokus pada Edgar sehingga tidak memperhatikan jalan.

"Oh ini bocahnya, Fan?" kata suara yang muncul dari belakang kak Taufan.

"Iya."

"Baju gue cuci dulu baru lu balikin ya."

Aku memandang kak Taufan sambil menunjuk orang itu. Dia mengerti maksud tatapanku dan menjawab, "iya, ini Gilang."

"Saya Ari, kak," kataku pada kak Gilang.

"Lu ngapain makan disini, Ri? Kantin teknik lebih banyak pilihan."

"Oh itu. Saya pulang bareng senior dari FH, kak," aku menunjuk Edgar yang masih menyantap makanannya. Kak Taufan dan kak Gilang kompak menengok ke arah yang kutunjuk.

"Edgar," suara kak Taufan setengah berbisik tapi aku masih dapat mendengarnya dengan jelas.

"Kenal, kak?"

"Satu kampus juga kenal ama dia, si es doger. Jadi salah banget kalau lu beli jus melon buat dia," kak Gilang menyahut sambil tertawa sendiri.

Si Es doger? Satu kampus kenal sama Edgar? Apa maksudnya. Masa iya Edgar yang jutek begitu bisa populer. Aku tidak percaya.

"Es doger kesukaan dia?" tanyaku bingung.

"Bukan," jawab kak Taufan. "Lu tau es kan? Sifatnya gimana?"

"Dingin?"

"Nah itu sifatnya dia juga, terus nama dia dianagramin ama anak-anak dari Edgar jadi dager, diplesetin jadi doger. Jadi deh es doger," sambung kak Gilang lalu dia tertawa lagi. Agak maksa ah.

"Udah, Lang. Seneng banget sih lu. Orangnya aja gak kenal sama lu," tegur kak Taufan.

"Gayanya sengak sih, Fan. Haha."

Kak Taufan membiarkan temannya tertawa sendiri lalu menatapku, "Kita duluan ya, Ri. Mau ambil pesenan makanan buat panitia."

"Iya kak."

Aku berpisah dengan mereka. Masih terpikirkan julukan Edgar yang jutek dan terlihat sempurna itu adalah es doger. Lucu sih, tapi ada benarnya juga. Edgar memang dingin, jutek, dan sejenisnya.

Kutaruh jus melon untuk Edgar di hadapannya dan duduk. Makananku pun sudah siap untuk disantap.

"Lama banget lu beli minum doang. Buru makannya, keburu malem nanti macet."

Aku melirik jahil padanya, bukan kesal seperti biasanya saat dia mengomel. "Iya es doger."

Itu wajah paling lucu Edgar yang pernah kulihat. Ekspresinya saat mendengar aku memanggilnya begitu jauh dari Edgar yang selama ini aku lihat. Dia tampak kesal sekaligus malu. Pipinya terlihat memerah dan matanya melotot kesal padaku. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya tertahan.

Aku langsung makan dengan santai. Akhirnya aku punya amunisi untuk meledeknya. Dan itu amunisi yang ampuh. Es doger. Haha.

**

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang