Chapter 31

134 9 9
                                    

Ini satu minggu paling lama yang kurasakan! Setiap hari aku seperti menghitung detik, menit, jam dan semuanya berjalan sangat lambat. Aku selalu terbayang Edgar di penjara kesepian, sendirian. Aku tidak tega. Aku ingin dia cepat-cepat keluar dan bertemu denganku. Aku ingin memeluknya.

Sabtu siang aku sudah berada di apartemennya. Akhirnya hari keluarnya Edgar tiba. Aku sangat tidak sabar. Pak Bram meninggalkanku sendiri di apartemen untuk menantikan Edgar. Aku bilang padanya aku ingin memberikan kejutan pada Edgar seorang diri. Ya hanya aku saja, tanpa ada orang lain.

Aku duduk di kursi makan menghadap ke pintu depan sudah berjam-jam lamanya. Aku hanya diberitahu dia keluar siang ini, tapi tidak bisa dipastikan jam berapanya. Awalnya aku ingin menjemputnya langsung di kantor polisi, tapi kupikir lebih baik aku memberinya kejutan disini. Aku sudah membeli sesuatu untuk kejutannya.

Tiba-tiba kudengar langkah kaki mendekat ke pintu depan apartemen. Hatiku langsung berdegup lebih cepat. Ini dia. Edgar akan segera muncul di hadapanku. Aku bangkit dan berdiri beberapa meter di depan pintu.

Kenop pintu berputar dan pintu terbuka perlahan-lahan. Dia berdiri disana, di ambang pintu dengan tubuh tingginya. Kepalanya kini berambut tipis, mungkin kena cukur di penjara, tapi dia masih tampan. Dia masih Edgarku yang menyebalkan.

Edgar melongo melihatku. Dia berdiri mematung disana, tas yang dipegang di tangannya jatuh ke lantai. Aku tersenyum melihatnya.

Edgar langsung berlari kearahku dan memelukku erat. Dia terisak, menangis lagi.

"Maafin gue, Ri!! Maafin gue!!" Pintanya dengan suara yang bergetar.

Aku senang bisa memeluknya lagi, bisa mencium aroma tubuhnya lagi. Kuelus-elus punggungnya untuk menenangkannya. Kami berpelukan cukup lama, untuk mengobati rasa rindu yang tertimbun selama kami terpisah.

Aku mendorongnya pelan untuk melepaskan pelukan kami, tapi kedua tangannya masih berada di pinggangku. Kutatap wajahnya yang sudah berair karena dia menangis hebat. Aku tahu dia merasa bersalah padaku tapi aku juga salah karena terlalu mudah menyerah untuknya.

Kuseka air mata di pipinya dengan kedua ibu jariku. "Maafin gue juga," kataku. Dengan iseng kutepuk pipi kirinya yang jadi korban jotosanku tempo hari.

"Aw, Ri!" Rengeknya.

"Masih sakit emang?"

Dia mengangguk manja.

"Jangan sok manja, mau gue perkosa?" Ancamku.

Edgar tertawa kecil mendengar ucapanku barusan, karena itu merupakan kata-katanya untukku.

"Gue seneng waktu ngelihat lu dateng pas gue ditangkep," tuturnya.

"Bego, ditangkep polisi malah seneng."

"Keren kan? Gue pernah dipenjara, lu belom."

"Itu bukan hal yang bisa lu banggain Edgar!" Kutepuk lagi pipi kirinya dan dia meringis sakit. Ah pura-pura, masa iya masih sakit setelah seminggu lebih berlalu.

"Tapi punya lu sebagai milik gue, bisa gue banggain kan?"

Edgar memajukan wajahnya. Aku tahu dia ingin menciumku. Kutahan wajahnya dengan telapak tanganku sebelum lebih dekat lagi dengan wajahku.

"Eits ntar dulu. Lu harus nerima hadiah keluar penjara dari gue," kataku.

Dia memandangku bingung. "Apa?"

Aku berbalik ke arah ruang makan dan menarik tangan Edgar agar dia mengikutiku. Di meja makan ada sebuah tudung yang sudah kupersiapkan dari tadi. Di dalamnya ada kejutan untuk Edgar.

"Tara! Silakan dibuka," kataku.

"Gak aneh-aneh kan?"

Aku menggeleng cepat.

Edgar dengan ragu mendekat ke tudung dan memegang atasnya. Perlahan-lahan dia membuka tudung itu dan melihat sesuatu di bawahnya.

"Es doger?" Tanyanya tidak senang. "Seriusan, Ri?"

Aku menjulurkan lidah pada Edgar dan tertawa melihat ekspresinya yang berhasil kukerjai itu. Dia tampak tidak senang. Aku langsung berlari ke kamarnya. Dia mengikutiku dan langsung menutup pintu kamar rapat-rapat setelah berada di dalam.

**

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang