Chapter 26

74 5 0
                                    

Di bagian belakang Mal 5 ini terdapat area terbuka semacam plaza yang diisi dengan meja-meja tempat makan. Untuk makanannya bisa dibeli di jajaran restoran yang memanjang menghadap plaza. Aku biasa kesini dengan Ditto waktu SMA di malam minggu karena biasanya ada band musik yang tampil di panggung permanen di tengah-tengah. Tapi karena ini malam sabtu, tidak ada band dan suasana disini lebih sepi.

Kak Gilang mengajak kesini setelah makan karena dia ingin merorok dulu sebelum pulang. Bodohnya, tidak ada di antara kami yang membawa rokok. Jadilah dia, Ditto dan Tian pergi ke supermarket di dalam mal untuk membelinya. Meninggalkan aku dan kak Taufan duduk berdua.

"Lu masih ada masalah sama Edgar, Ri?" Tanya kak Taufan tiba-tiba.

Sial. Kenapa dia mau bahas soal Edgar? "Jangan bahas itu lah kak." Pintaku.

Dia terkekeh pelan. "Kalau bahas soal perasaan gue gimana?"

Hah? Maksudnya?

Tanpa menunggu jawabanku, kak Taufan langsung berkata, "Mungkin lu belum tahu Ri, sejak kita tabrakan gue merasakan sesuatu..."

"Saya tahu kok kak," potongku.

Kak Taufan tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menatapku lekat-lekat seperti mencari-cari sesuatu di mataku.

"Lu tahu?"

Aku mengangguk. "Sebenernya Ditto yang sadar duluan. Dia bersikap aneh setelah ngelihat kaki kak Gilang yang digigit semut waktu itu. Kemudian dia bilang kalau kak Taufan suka sama saya."

Dia tertawa kecil. "Gak ada semut, Ri." Sambil tersenyum, kak Taufan melanjutkan. "Gue nginjek kaki Gilang karena dia mau ngomong sembarangan waktu itu."

"Kenapa kak?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa bisa suka sama saya?"

Kak Taufan diam sebentar, dia menggeser bangkunya mendekat padaku. Dia masih terus tersenyum dan aku rasanya tidak pernah bosan melihat senyuman itu.

"Karena gue mau ngejagain lu, Ri. Lu inget kan pernah gw bilang imut?"

Aku mengangguk.

"Itu yang pertama gue lihat dari lu. Gue pikir lu anak manja yang salah jurusan masuk fakultas teknik, dan entah kenapa gue pengen jadi orang yang ngebantu lu bisa kuliah dengan nyaman. Gue pengen jadi guardian angel lu. Tapi ternyata gue salah."

"Salah gimana?"

"Ternyata lu punya Ditto yang selalu nemenin lu kemana pun, ada si es doger yang protektif dan peduli sama lu. Sejak itu gue ngerasa gua ga akan bisa jadi siapa-siapa buat lu."

"Kak Taufan yang salah."

Dia menatapku, menantikan alasanku berkata demikian.

"Kak Taufan selalu ada saat saya butuh. Waktu mobil saya mogok, kak Taufan rela nganterin sampe rumah dan balik lagi ke kampus. Waktu saya lagi lari dari Edgar, kak Taufan mau bantu tanpa nanya yang aneh-aneh." Kulihat pipi kak Taufan memerah ketika kuungkap semua kebaikannya yang selalu kuingat.

"Kakak sudah jadi guardian angel saya kok. Karena itu saya sangat menghormati kakak. Bahkan di antara senior lain, saya belum berani manggil kakak pakai lu-gue karena saya menghormati kakak. Kakak sudah seperti abang saya sendiri yang selalu bisa ngejagain saya."

"Duh, gue jadi gak bisa berkata-kata nih, Ri," katanya sambil tertawa kecil. Jari telunjuknya menyeka matanya. Dia berlinang air mata. Terharu.

"Ya emang itu yang saya rasain kak," kataku sambil tersenyum. Kubantu dia menyeka air mata yang jatuh di pipi kirinya. Tidak kusangka kak Taufan orangnya sesensitif ini. Itu bagus, karena dia bisa mengerti perasaanku.

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang