Chapter 22

78 4 0
                                    

Sinar matahari menembus masuk melewati jendela kamar. Kubenamkan wajahku ke bantal agar tidak silau oleh cahaya itu. Tunggu! Bantal? Aku tersenyum sendiri ketika aku sadar aku tidur di kasur.

Aku menoleh ke sebelahku, bagian kasur dimana Edgar biasanya tidur. Dia tidak disana. Aku mendapatinya sedang mengeluarkan beberapa baju dari lemari dan memasukkan baju-baju itu ke koper yang berada di lantai.

"Pagi," katanya sambil tersenyum saat menyadari aku sudah bangun. Senyuman yang menyegarkan pagiku. Andai saja dia tidak harus pindah, aku akan bisa terus melihat senyuman itu setiap pagi.

Aku langsung duduk di kasur dan terus memperhatikannya.

"Pulang jam berapa semalem?" Tanyaku.

"Gak pulang, ini baru aja pulang. Kenapa?"

"Hah? Terus kok gue bisa pindah dari sofa ke kasur?"

Edgar tertawa kecil. Sial, dia mengerjaiku lagi. Sepertinya dia sudah selesai memasukkan semua baju barunya yang dibeli minggu lalu ke dalam koper. Dia menutup koper dan memposisikannya berdiri.

"Mandi gih. Abis itu kita berangkat," titah Edgar padaku.

Aku memasang muka malas padanya. "Ah baru jam berapa."

"Udah jam sembilan, Ri. Lu kan dandan lama." Tadi nyuruh, sekarang ngeledek. Untung ganteng kamu, Gar. "Gue tunggu di bawah ya."

Aku mengangguk pelan. Edgar keluar bersama kopernya dari kamarku. Huft. Aku menghela nafas panjang. Tidak pernah terpikir olehku kalau hari ini akan tiba. Hari dimana Edgar minggat dari kamarku. Kalau dipikir-pikir baru seminggu yang lalu aku bertemu dengannya tapi rasanya aku dan Edgar sudah begitu dekat. Mungkin benar kata mama kalau aku mudah bergaul. Asal tidak dibilang gampangan aja.

Aku turun dari kasur dengan malas. Kuambil handukku dan pergi mandi. Selesai mandi, aku langsung bersiap-siap. Aku teringat ini hari minggu. Dengan cepat kubereskan kamarku sebelum mama masuk kesini dan melihat kamar anak bujangnya.

Saat aku turun, Edgar sedang menyantap sarapannya. Mama juga berada di dapur dengan pakaian rapi.

"Mama ikut bantu Edgar pindah?" Tanyaku.

"Ngapain? Kan ada kamu, Ri," jawab mama sambil berbalik menatapku. Dia tersenyum melihat anak sulungnya ini sudah terlihat gagah.

"Itu?" Aku menunjuk pakaian mama yang bukan pakaian yang biasa dikenakannya di rumah.

"Lho kamu lupa, ini kan minggu ke empat. Arisan."

Oh iya. Aku mengangguk-angguk saja paham. Aku langsung duduk di sebelah Edgar. Mama tanpa diminta langsung menyediakan sarapan roti isi di hadapanku. Best mom ever!

Selesai sarapan aku dan Edgar langsung berangkat. Dia sudah meletakkan kopernya di bagasi. Alah barangnya hanya baju-baju baru pakai koper besar segala. Sindirku padanya.

Sama seperti kemarin, Edgar memegangi tanganku lagi sepanjang perjalanan. Di mobil kami hanya diam saja menikmati suasana berdua yang indah ini. Saat sudah melewati jalan depan universitas, aku ingat pertanyaanku belum dijawab olehnya.

"Jadi yang bener semalem pulang jam berapa?" Awas aja kalau jawabnya bercanda lagi.

"Jam dua belas lewat."

"Ngapain aja ama temen kampus sampai jam segitu?"

"Mereka mau ada lomba debat hari ini. Gue diminta buat jadi lawan debatnya."

"Pasti karena sikap lu yang anti sama apa pun ya?"

Edgar menatapku sambil melotot. Pura-pura marah. Kujulurkan lidahku padanya sebagai tanda aku bercanda.

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang