Chapter 15

86 6 0
                                    

Hari terakhir OSPEK. Akhirnya rangkaian acara OSPEK di Universitas Hulu akan berakhir hari ini dengan turnamen olahraga antar fakultas yang semua pesertanya adalah mahasiswa baru. Aku membuka mataku dengan membayangkan minggu depan aku sudah bisa ke kampus dengan pakaian bebas. Itu impian semua anak Indonesia bukan? Sekolah dengan menggunakan pakaian bebas karena dari SD sampai SMA diwajibkan menggunakan seragam.

Saat aku membuka mata, kulihat Edgar sudah rapi. Jam di dinding baru menunjukkan jam 5.30 pagi. Mau kemana dia sepagi ini? Kalau dia pergi artinya aku tidak bisa nebeng dong?

Aku duduk dikasur, masih mencoba mengumpulkan kesadaranku. Dengan mata yang masih susah terbuka aku bertanya pada Edgar, "Mau kemana?" Suaraku terdengar parau.

Edgar yang sedang bercermin di samping pintu kamar menoleh ke belakang dan menatapku. Aku merasa bahwa dia sedang marah kepadaku dari tatapannya yang tajam itu. Sial, jangan-jangan semalam dia lihat aku pulang dengan kak Taufan.

"Jemput Tita, terus nganter dia ke sekolah," jawabnya sambil berbalik pada cermin, tidak peduli sama sekali padaku.

Tiba-tiba saja mendengar nama itu darahku seperti naik. Kesadaranku langsung penuh. Hatiku mendadak gusar hanya karena Edgar menyebutkan satu nama itu.

"Jemput? Lu belum bilang sama dia yang sebenarnya?" Tanyaku. Aku menuntut janji Edgar yang dibuatnya kemarin. Aku sudah melaksanakan tugasku, harusnya dia juga melakukan bagiannya.

Edgar hanya menggeleng. "Belum."

"Lu mau bilang sama dia pagi ini gitu?" Ada secercah harapan ketika aku mengatakannya. Aku masih berbaik sangka pada Edgar.

"Buat apa?"

Aku menyesal telah berpikiran baik barusan. Aku emosi mendengar jawaban Edgar barusan, tapi masih coba kutahan.

"Karena lu udah janji."

Edgar sepertinya sudah selesai mengatur rambutnya. Kini dia berbalik ke arahku dan berjalan menghampiriku.

"Mobil lu udah bener?" Tanya Edgar, aku bingung kenapa tiba-tiba dia membahas mobilku. Saat ini Edgar sudah berdiri tegak di samping kasur sehingga aku harus mendongak untuk menatap wajahnya.

"Belum."

"Terus kenapa gak hubungin gue?"

"Hmm.. anu.." aku masih berpikir bagaimana reaksi Edgar jika aku katakan yang sebenarnya.

"Lu balik sama siapa semalem?" Dia merubah pertanyaannya.

Aku bergeming, masih belum yakin apakah aku harus jujur padanya. Bisa saja aku bilang aku diantar oleh Ditto, mungkin itu lebih baik daripada Edgar tahu aku pulang diantar kak Taufan.

"Taufan?"


Sial, dia berhasil menebaknya. Sekejap kemudian dia duduk di tepi kasur. Matanya terus menatapku tajam, aku merasa takut melihat Edgar. Aku menunduk.

Edgar memegang daguku dengan tangan kanannya dan mengangkat kepalaku. Sial, sorot mata itu. Aku tidak kuat untuk terus melihatnya. Tapi aku juga tidak berani untuk menutup mata karena wajah Edgar semakin lama semakin maju, mendekat padaku.

"Jangan nagih janji gue, kalau lu sendiri gak bisa nepatin janji lu." Tegas Edgar saat wajahnya tinggal beberapa centimeter lagi dari wajahku. Sorotan mata dan intonasi bicaranya benar-benar menunjukkan kalau dia sedang marah dan kecewa padaku. Dibanding orang yang marah dengan berteriak atau bernada tinggi, aku lebih takut dengan cara bicaranya barusan.

Edgar bangkit dan berjalan menuju pintu kamar. Sial, aku tidak mau ditinggalnya dalam keadaan merasa bersalah begini.

"Gue cuma gak mau ngerepotin lu, Gar." Aku membela diri. Entah berhasil atau tidak.

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang