Chapter 1

250 11 0
                                    

Kebiasaan! Siapa lagi ini yang parkir di depan rumahku. Punya mobil tidak punya tempat parkir. Terpaksa aku parkir di depannya, di depan rumah tetangga. Hal yang lebih menyebalkan adalah, kalau mobil putih itu pergi, aku harus turun lagi dari kamar dan memasukkan mobil ke garasi. Sudah malam begini, aku mau langsung tidur.

Dengan langkah kesal aku menuju pintu depan rumah. Entah kenapa kesialan terjadi beruntun padaku hari ini. Dimulai dari macet karena kecelakaan, hampir setengah jam mencari tempat parkir di mal, hingga Aini yang meninggalkanku begitu saja karena aku terlambat. Lebih parahnya dia mengatakannya via Whatsapp. Sepertinya Tuhan tidak mengizinkan aku bertemu dengannya. Dan sekarang, mobil ini!

Mercedes-Benz putih. Aku sedang berdiri di depannya. Rasanya ingin menendang mobil sedan ini untuk melampiaskan amarahku.

Kulihat pintu depan rumah terbuka, sepertinya ada tamu. Jangan-jangan tamunya pemilik mobil ini. Tapi hal itu tidak mengurangi kekesalanku. Aku malas untuk memindahkan mobil ke garasi nantinya, seperti kerja dua kali.

"Malam," salamku sambil mengetuk pintu depan pelan. Semua orang di ruang tamu langsung menoleh padaku.

Ada papa, mama, seorang laki-laki dengan setelan jas yang rapi, dan anak laki-laki yang sepertinya seumuran denganku.

"Nah itu Ari pulang," mama menyambutku.

"Sini duduk."

Aku bingung. Aku tidak kenal kedua orang tamu itu tapi kenapa aku disuruh duduk? Bukannya mereka tamu papa? Tapi aku menurut saja duduk di sebelah anak laki-laki tadi. Sial, baunya aneh. Bukan busuk, tapi bau yang cukup menyengat bila dekat dengannya.

"Ini Pak Bram, bos papa di kantor."

Aku menoleh pada pak Bram dan tersenyum sopan.

"Dan itu anaknya, Edgar."

Saat aku menoleh padanya, dia membuang muka dan menatap kosong ke pintu depan. OK, first impression yang buruk. Daripada memprovokasi sikapnya barusan yang akan membuatku semakin kesal, aku menoleh ke papa lagi.

"Mereka baru saja mengalami musibah, rumah mereka kebakaran. Karena gak ada kelurga yang rumahnya di kota ini, jadi mereka minta bantuan kita."

"Bantuan apa, Pa?"

"Mereka akan tinggal disini sampai menemukan tempat tinggal sementara."

"Ehm," pak Bram bersuara. "Sebenarnya hanya Edgar aja yang akan tinggal disini. Kamu ingat kan Al, besok saya harus ke Jepang."

"Lho? Jadi berangkat, Pak? Kan baru dapat musibah." Papa terlihat bingung.

"Gak mudah buat atur pertemuan sama mereka, jadi pertemuan itu harus tetap jalan. Lagipula, rumah kamu dekat dengan kampus Edgar, jadi saya minta tolongnya sama kamu."

"Ehmm, Edgar kuliah di Universitas Hulu?" Mama bertanya, aku sudah menebak arah pembicaraannya jika Edgar mengiyakan.

"Iya tante."

"Wah, Ari juga masuk sana."

"Oh."

Wah, ini cowok emang pelit ngomong atau gak diajarin sopan santun sama orang tuanya? Melihat mukanya yang sombong itu membuatku semakin kesal.

"Masuk jurusan apa kamu, Ri?" pak Bram bertanya, melanjutkan topik yang sama.

"Teknik sipil, Om."

"Oh beda fakultas berarti sama Edgar. Dia fakultas hukum, mau jadi pengacara ayahnya dia. Haha."

Papa dan mama ikut tertawa. Entah apa yang lucu, mungkin bagi orang tua guyonan garing itu lucu.

"Ari ke kamar dulu ya, Ma. Mau istirahat."

"Ah, Edgar kamu juga ikut sana. Istirahat juga."

"Hah?"Aku terkejut. "Dia tidur di kamar Ari, Ma?"

"Iya lah, sama di kamar adik kamu. Sudah sana."

Aku tidak mau membantah. Sekesal apa pun aku pada dunia aku sebisa mungkin tidak menunjukkannya pada mama atau papa. Mereka berdua selalu bersusah payah membuat aku bahagia, jadi tidak adil rasanya saat dunia kejam padaku, aku melampiaskan pada mereka.

Aku berjalan menuju kamarku di lantai atas, Edgar mengikutiku tanpa bersuara di belakang. Di lantai atas ada dua kamar yang saling berhadapan, kamarku dan kamar adik perempuanku yang cerewetnya bukan main. Entah dimana dia sekarang, kalau ada di rumah pasti aku sudah mendengar suaranya dari tadi.

"Tunggu disini dulu ya, gue masuk duluan."

"Kenapa? Ada majalah porno yang harus lu sembunyiin dulu?" Tanya Edgar dengan nada bicara sok. Hampir aku naik pitam, aku masih bisa menahannya. Aku ingat dia baru saja tertimpa musibah.

"Bukan, ada bangkai orang yang belum gue buang!" aku menimpali saja.

Aku langsung masuk kamar dan menguncinya dari dalam, jaga-jaga kalau Edgar nyelonong masuk. Sial, kamarku luar biasa berantakan. Biasanya aku membereskan hari minggu pagi karena siangnya mama suka inspeksi kamar. Tapi aku harus membereskannya sekarang karena aku tidak mau anak bosnya papa menilaiku hanya dari keadaan kamarku.

Tok tok!!

Pintu kamar berbunyi. Ah aku masih beres-beres. "Tunggu! Sebentar lagi!" aku berteriak menyahuti.

Tok tok!!

Gak sabaran banget sih! Aku semakin kesal. Rasanya ini hari terburuk dalam hidupku. Masalah demi masalah terus muncul padahal sudah pukul 9 malam.

Tok tok!!

Kulempar buku terakhir yang ada di lantai ke atas meja. Buku mendarat terbalik. Ah biarkan saja, daripada aku harus mendengar ketukan pintu lagi.

Wajah Edgar tampak tidak senang ketika aku membuka pintu. Dia melirik ke arah kamar, berjinjit sedikit untuk melihat dari atas kepalaku. Dia lebih tinggi sedikit dariku.

"Masuk."

Aku berbalik dan langsung duduk di tepi kasur. Kamarku tidak besar tapi cukup banyak perabotan. Sebagai anak sulung, aku berhak mendapat kamar yang ada jendela depan rumahnya, di bawah jendela ada sofa. Di sebelahnya ada meja belajar dan komputerku. Di seberang ruangan, dekat dengan pintu masuk, ada lemariku dan kasurnya berada di tengah-tengah menempel pada salah satu dinding ruangan.

Edgar berjalan masuk dan melihat-lihat. Aku tahu pasti kamar dia lebih besar. Dia anak bos, tentu rumahnya pun lebih besar. Tanpa permisi dia membuka lemari, seperti tidak menemukan yang dicarinya, dia berjalan melewati kasur menuju jendela. Kemudian mengamati barang-barang yang ada di meja belajarku. Rasanya seperti inspeksi mingguan mama tapi lebih ketat.

Jengah dengan keheningan, aku bangkit dan berjalan menuju lemari. "Gue beresin dulu lemarinya, biar lu bisa naro baju lu disini." Aku memindahkan beberapa kaosku ke rak lain di dalam lemari itu.

"Mana koper lu?" aku menoleh menatap Edgar.

Dia hanya menatapku seolah berkata 'pikir bego!' dan setelah beberapa detik berpikir baru aku nalar.

"Ah sorry sorry. Gue lupa kalau rumah lu..," dia menunduk ketika aku hendak berkata kebakaran. Aku tidak mesti membicarakan itu.

Aku berbalik ke lemari dan mengambil kaos dan celana pendekku. Juga sehelai handuk yang masuk belum dipakai. Aku memberikan padanya barang-barang itu.

"Nih, kamar mandi ada di deket tangga. Lu bisa pakai baju gua dulu."

Dia menerima tanpa berkomentar. Mungkin dia pikir dia butuh mandi juga. Aku tidak tahu bagaimana kejadian kebakarannya, tapi kalau aku berada di posisinya mungkin mandi hal yang aku butuhkan sebelum tidur. Dan sementara dia mandi, aku punya waktu untuk lanjut membereskan kamarku.

Setelahsekian lama, akhirnya ada cowok lain yang akan tidur di kamarku. Padahalkupikir dia akan menjadi satu-satunya karena dia begitu spesial dulu. Kuharapkali ini aku mampu menahan diri.


**

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang