Chapter 23

75 5 0
                                    

Mobil berhenti di sebuah rumah yang terlihat cukup besar. Hanya satu lantai tapi bagian depannya lebar. Lokasinya berada di jalanan yang sepi tapi cukup lebar untuk dilalui dua mobil.

"Rumah kak Taufan?" Tanyaku saat keluar dari mobil. Memandangi rumah dari satu ujung ke ujung lainnya.

"Rumah orang tua, hehe." Dia bercanda. Aku tahu aku sedang tidak bisa diajak bercanda sekarang, tapi guyonan garing kak Taufan cukup menghibur dan membuatku tersenyum kecil. "Yuk."

Kak Taufan berjalan ke pintu depan. Aku mengikutinya terus sampai ruang tamu. Dia menyuruhku duduk dan menunggu disitu.

Aku memeriksa ponselku. Sepanjang perjalanan ponsel ini terus bergetar tanda ada panggilan masuk. Tentu saja Edgar. Jengah, akhirnya kurubah mode suara menjadi silence. Biar saja dia terus menelponku tapi tidak diangkat. Dia sangat layak untuk mendapatkan ganjaran ini.

Chat whatsappku tidak jauh berbeda. Edgar sudah mengirim hampir seratus pesan yang belum kubaca. Kubaca pesannya satu per satu, kebanyakan kata-kata minta maaf, memanggil namaku 'Ri' berkali-kali. Dia juga menuliskan penjelasan bahwa dia belum pernah sempat untuk jujur pada Tita. Dan satu kalimat di chatnya membuatku langsung memutuskan untuk memblokir kontaknya.

'Kan gue udah bilang, Ri. Tita itu kayak Ra, susah kalau keinginannya gak diturutin.'

Ingin aku teriak kencang-kencang di depan mukanya. Masih saja dia mencari pembenaran diri. Dan lebih parahnya lagi dia membawa-bawa nama Ra. Edgar sialan!! Aku mengerang dalam hati.

Ada juga chat dari Ditto, 'Lu kemana, Ri?'

Kubalas pesannya. 'Gue baik-baik aja, jangan cari gue.'

'Dih ge-er. Siapa pula yang mau nyariin lu.'

Ditto selalu berhasil membuatku tersenyum saat keadaan apa pun. Sahabatku yang terbaik. Entah apa aku tanpa Ditto yang selalu membantuku.

'Sialan lu, Dit!'

Dia mengirimkan emotikon menjulurkan lidah padaku, kemudian diikuti 'telpon gue saat lu siap. Gue akan selalu sedia buat denger cerita lu.'

Ahh, aku terharu membacanya. Kenapa bukan Ditto saja sih aku sukai. Dia selalu berusaha menyenangkanku, memberiku pendapat-pendapat terbaiknya. Kenapa harus Edgar sialan itu yang bahkan tidak bisa terus terang pada cewek.

"Nih, Ri. Minum dulu," kak Taufan sudah kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua gelas sirup. Dia meletakkannya di atas meja lalu duduk di sofa di sisi lain meja.

"Thanks kak," kataku. Sebelum dia memaksa, aku mengambil salah satu gelas dan meminumnya. Yah, kurasa aku memang butuh minum. Kejadian yang mengagetkan tadi membuatku haus. Dan aku butuh minum untuk menenangkan pikiranku yang semrawut.

"Sekarang gue udah boleh nanya?"

Aku menatap kak Taufan. Dia rasanya berhak untuk tahu apa yang terjadi. Aku masih ragu apakah aku harus bercerita yang benar-benar terjadi, atau hanya sepenggalan saja karena aku tidak ingin dia tahu ada apa antara aku dan Edgar. Kurasa sudah terlambat untuk itu. Dia melihat sendiri Edgar memanggil-manggil namaku saat di mobil tadi. Tentu kak Taufan mengerti bahwa hubungan kami lebih dari sekedar orang yang memberi tumpangan rumah dan yang menumpang.

Aku mengangguk ragu-ragu.

"Apa yang lu suka dari Edgar?"

Pertanyaan kak Taufan mengagetkanku. Kukira dia akan bertanya kenapa aku kabur dari Edgar tadi. Aku tidak siap untuk pertanyaannya barusan. Apa yang kusuka dari Edgar? Apa maksudnya?

"Maksudnya? Siapa yang suka sama Edgar?"

Kak Taufan tersenyum. "Gak perlu bohong, Ri. Gue tahu lu suka sama dia dari cara lu ngelihat dia."

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang