Chapter 20

84 6 0
                                    

"Ri."

Aku mendengar suara Edgar yang lembut untuk kesekian kalinya. Dia mencoba membangunkanku tapi aku sedang nyaman sekali sekarang. Kurasakan belaian tangannya di kepalaku, lalu turun ke punggungku. Dia membelaiku lembut.

"Ri."

Pipiku menempel di dadanya yang tidak memakai baju. Aku bisa mencium dengan jelas aroma tubuhnya yang membuatku meleleh. Ah aku tidak ingin bangun. Aku mau tetap begini sampai matahari terbenam lagi.

"Ri, bangun. Ada Ra di depan pintu."

Aku langsung terduduk dan menatap ke arah pintu kamar. Pintu kamar masih tertutup rapat tidak ada siapa-siapa disana. Aku menoleh pada Edgar dan memandangnya kesal. Dia nyengir.

"Gak lucu," kataku sambil memukul lengannya pelan.

"Bener kan? Kan kamar Ra ada di depan pintu."

Aku duduk bersandar di kasurku. Aku sama dengan Edgar, tidak memakai baju juga. Selimut menutupi setengah badan kami berdua. Kuintip apa yang ada di bawah selimut. Sial, kapan Edgar memakai celana pendek itu?

Edgar ikut duduk bersandar di sebelahku. Kami saling bertatapan beberapa saat dan saling tukar senyum. Malam yang membahagiakan untuk kami berdua. Aku bergeser mendekat padanya. Kupeluk tangannya dan kusandarkan kepalaku di pundaknya. Ah nyaman.

"Jangan tidur lagi, Ri."

"Gak mau." Aku menolak manja.

Tiba-tiba Edgar memutar badannya sehingga sandaranku hilang. Dia bergerak, pindah duduk di atas kakiku. Tangannya meraih tanganku dan mengangkatnya ke atas, ke sisi-sisi kepalaku, menempel di tembok. Dia menciumku lagi. Tidak lama.

"Jangan sok manja lagi. Gue gak kuat dengernya," katanya tegas. Aku tersenyum malu-malu.

Edgar melompat turun dari pangkuanku. Kupandangi badannya yang hanya mengenakan celana pendek dari belakang. Cahaya matahari yang masuk lewat jendela, menjadikan Edgar layaknya siluet yang begitu indah. Rasanya aku tidak bisa jadi lebih suka pada Edgar. Rasa sangat menyukainya hingga tidak terhingga. Haha lebay.

Edgar memutar badannya dan berkata, "Siap-siap yuk."

"Kemana?"

"Ngecek rumah kita."

Aku langsung tersipu malu mendengarnya. "Apaan sih," kataku sambil melempar bantal padanya.

"Gue mandi duluan ya."

"Bareng," kataku sok manja.

Edgar seperti menahan nafas saat mendengarku barusan. Lalu dia menghela nafas panjang. Matanya menatapku tajam. Dia benar-benar tidak kuat kalau aku bicara seperti tadi.

"Jangan," balasnya lalu membuang muka dariku.

Aku tertawa sendiri melihat tingkahnya barusan. Betapa lemahnya dia padahal aku hanya pura-pura manja.

Kutarik selimut untuk menutupi badanku dan turun dari kasur. Dimana celana pendekku ya? Aku lupa melemparnya ke arah mana. Akhirnya ketemu di bawah kasur. Sial.

Aku langsung mandi setelah Edgar selesai. Saat aku selesai mandi, Edgar masih menata rambutnya seperti biasa. Kami langsung turun bersama-sama menuju meja makan. Duh rasanya seperti pengantin baru, keluar kamar sama-sama. Haha.

Mama dan papa ternyata sudah pergi untuk acara akad nikah teman mama. Ra sedang menonton di ruang tengah, tidak peduli dengan kehadiran kami berdua. Hanya ada aku dan Edgar di ruang makan.

"Sana duduk, gue buatin sarapan," kataku pada Edgar.

Aku membuka lemari atas tempat dimana roti dan selai coklat ditaruh. Ada sereal juga. Kuturunkan semuanya.

"Mau apa? Roti apa sereal?"

Aku menoleh pada Edgar, ternyata dia belum duduk, dia masih berdiri di sampingku. Dia berjalan maju dan memelukku dari belakang. "Maunya lu, Ri," katanya sambil menggigit pelan leher kananku.

Kuinjak kaki Edgar. Gila aja! Seperti orang gak bisa nahan. "Ada si Ra!" Kecamku.

"Ketutupan tembok kok. Hish," dia meringis karena kakinya sakit.

"Kak Ri? Udah bangun?" Teriak Ra dari ruang tengah. Dengan cepat Edgar melepas pelukannya.

"Iya, Ra!" Balasku berteriak juga. Aku berbalik menghadap Edgar. "Duduk!" Perintahku sambil mengacungkan pisau selai.

Edgar nurut dan duduk di tempatnya biasa.

"Mau apa?"

"Roti aja, Ri."

Oke, roti untuk Edgar dan sereal untukku. Tidak lama aku menyiapkan sarapan. Kami pun duduk bersisian dan menyantap sarapan yang kusiapkan. Sekali kutawarkan serealku dan menyuapi Edgar. Benar-benar seperti pengantin baru rasanya.

Selesai sarapan, aku dan Edgar langsung berangkat. Beruntung Ra tidak minta ikut, dia bilang dia ada kegiatan ekskul. Kuiingatkan dia untuk mengunci pintu rumah.

Di mobil, Edgar terus memegangi tanganku. Sesekali mataku kami bertemu dan saling tersenyum. Edgar hanya melepas tanganku saat akan berganti gigi, lalu langsung memegang tanganku lagi. Perjalanan kami sudah melewati kampus, aku masih belum tahu dimana apartemen Edgar.

"Jadi nanti disana tinggal berdua sama bokap doang?" Tanyaku.

"Hmm."

"Nyokap?"

Dia tertawa kecil, "Nyokap gue udah meninggal lima tahun lalu, Ri."

"Sorry."

"Gue kira lu udah tahu." Aku hanya nyengir kuda membalasnya. Aku tidak tahu sama sekali, topik ini tidak pernah kami bahas.

"Belum. Mau ceritain?"

Edgar melirikku sebentar lalu menghela nafas panjang. Kemudian mulai bercerita, "Nyokap gue meninggal karena kecelakaan. Kejadiannya waktu itu bokap gue yang bawa mobilnya, beruntung dia selamat. Tapi kalau gue disuruh milih, gue lebih milih nyokap yang selamat."

Aku sedikit tersentak, tidak seharusnya Edgar berkata begitu. "Kok ngomong gitu?"

Genggaman tangan Edgar terasa makin keras, seolah ada yang dia tahan di hatinya. Kubelai tangannya dengan ibu jariku yang bebas, mengisyaratkan bahwa aku ada disini untuknya. Untuk mendengarkan ceritanya baik suka maupun duka.

"Bokap gue gak sebaik yang lu pikir, Ri. Sepeninggalan nyokap gue, berkali-kali gue pergokin dia sedang jalan sama wanita lain padahal bilangnya lagi perjalanan dinas. Bahkan bisa aja sekarang dia lagi jalan sama wanita simpanannya. Ri, gue gak bisa berhenti menyalahkan dia atas kematian nyokap."

Kulihat Edgar sedang mencoba untuk tegar. Sial, tidak seharusnya aku bicara masalah ini saat di mobil. Ingin sekali aku memeluknya sekarang, untuk menenangkannya. Air matanya jatuh dari mata kirinya. Segera kusapu air mata itu dengan tanganku.

"Thanks, Ri." Edgar tersenyum. Kubalas senyumannya.

Edgar berbelok ke kiri dan memasuki suatu area apartemen yang tidak asing bagiku. Aku ingat gerbang tadi, aku ingat bundaran air mancur yang sedang kami putari, dan aku ingat taman kecil sebelum turunan menuju tempat parkir basemen. Sial, aku ingat siapa yang tinggal disini juga.

Ditto!

**

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang