Chapter 29

72 6 0
                                    

Berjam-jam sudah aku menunggu disini. Di depan kantor polisi dimana Edgar ditahan bersama Ditto. Kami tidak serta merta menemukannya disini. Aku dan Ditto mendatangi semua kantor polisi yang berada di antara apartemen dan rumahku, karena aku sempat bertemu dengan dua mobil polisi tadi di jalan.

Aku hanya diam saja sambil memandangi langit yang mulai menjingga. Ditto sedang sibuk dengan ponselnya, entah sedang apa. Rasanya berlebihan bila aku meminta Ditto menunggu lebih lama lagi. Entah berapa jam lagi pemeriksaan Edgar selesai. Kata polisi yang berjaga, aku baru bisa menemui Edgar setelah pemeriksaan selesai. Apa yang diperiksa sampai selama ini?

Ponselku berbunyi, ada panggilan masuk dari papa. Tumben papa menelponku.

"Kamu dimana, Ri?"

"Di kantor polisi, Pa."

"Ini bukan penipuan kan?" Papa bercanda di saat yang tidak tepat. Lagipula bagaimana bisa ini penipuan, kan dia sendiri yang menelpon.

"Gak lucu, Pa," kataku datar. "Papa sudah tahu?"

"Hmm. Baru aja pak Bram ngabarin papa. Kamu sudah ketemu dia?"

Tiba-tiba aku teringat obrolanku dengan papa pagi tadi. Tentang bagaimana aku harusnya menolong anak kecil itu. Tapi semuanya sudah terlambat sekarang. Masalah yang dialami Edgar lebih besar dari yang kuduga. Sial. Aku kesal pada diriku sendiri.

"Ri terlambat, Pa," kataku dengan suara yang bergetar.

"Ri," panggil papa lembut, mencoba menenangkanku. Tapi tidak berhasil. Hatiku terasa ditindih sesuatu yang berat. Rasa penyesalan yang teramat besar.

Semuanya sudah terlambat. Kalau saja aku bisa menjaga emosiku semalam, mungkin setidaknya aku bisa berbicara baik-baik dengan Edgar tentang masalah kami. Seharusnya aku tidak menonjoknya. Sialku lah, semuanya malah makin berantakan. Karena aku tersulut emosi. Karena aku belum dewasa dan mencoba mengerti Edgar. Bertubi-tubi alasan untuk aku menyesal muncul di kepalaku. Air mataku berlinang.

"Ri terlambat, Pa," ulangku sambil merintih. Kututup mataku dengan tanganku yang bebas. Aku mulai menangis. Aku merasakan Ditto merangkulku dan menggosok-gosok punggungku.

"Gak ada gunanya kamu menyesal begitu, Ri. Sekarang bilang kamu ada di kantor polisi mana?"

"Di kantor polisi simpang, Pa."

"Tunggu ya, papa dan mama kesana."

"Iya." Lalu panggilan terputus.

Saat kumasukkan kembali ponselku, kulihat polisi yang tadi kutanyai waktu pertama datang keluar dari pintu depan. Dengan cepat aku berdiri dan menghampirinya.

"Gimana, Pak? Apa pemeriksaannya sudah selesai?" Tanyaku.

"Ah ternyata kamu masih disini, kirain sudah pulang," katanya, dia agak terkejut melihatku.

Tidak, aku tidak akan pulang sampai bertemu dengan Edgar. Aku ingin dia tahu bahwa aku ada untuknya. Tidak peduli seberapa brengseknya dia, aku ingin ada di sisinya saat ini.

"Pemeriksaan sudah setelah, tadi Edgar tidak mau menemui siapa-siapa dulu. Dia minta saya menitipkan ini ke kamu. Kamu Ari kan?"

Aku mengangguk. Dia memberikan secarik kertas note padaku. Langsung saja kubuka kertas itu, hanya ada dua kalimat pendek.

'Ri, pulang. Istirahat.'

Bodoh. Bagaimana aku bisa pulang kalau tahu dia masih dalam masalah begini. Aku tidak mau.

"Saya ingin ketemu dengan dia, Pak. Bisa kan?"

"Maaf dek. Saudara Edgar sendiri yang bilang dia ingin bertemu siapa-siapa. Beri dia waktu."

"Bilang Ari yang mau ketemu, Pak. Tolong, Pak," pintaku. Aku harus bertemu dengannya malam ini. Aku tidak bisa menunggu.

Pak polisi itu menggeleng, tetap menolak. "Terlebih dari kamu katanya."

Sial Edgar. Apa yang sedang dilakukannya? Kenapa dia menolak bertemu denganku? Apa dia ingin membalas perlakuanku selama seminggu kemarin yang menghindarinya? Tidak. Aku tidak terima jika memang dia melakukan itu.

"Ri," panggil seseorang dari arah belakangku. Papa dan mama sudah tiba ternyata, Ra juga ikut. Memang kantor polisi ini sangat dekat dengan rumahku.

Aku berbalik ke arah papa dan mama. Mama melebarkan tangannya, langsung saja kupeluk erat. Hatiku rasanya begitu berat, terlebih setelah membaca tulisan Edgar tadi. Kenapa dia tidak ingin bertemu denganku sih?

"Tunggu disini ya," kata papa dan meninggalkan kami semua di depan kantor polisi.

Aku melepas pelukanku dengan mama dan melihat papa berbicara sebentar pada polisi tadi, lalu keduanya masuk ke dalam. Saat aku hendak berjalan mengikuti keduanya, mama memegang tanganku. Mama menggeleng saat aku menoleh padanya.

"Biarkan papa kamu yang urus semuanya dulu, Ri," tukas mama. Aku mengangguk nurut.

Kemudian mama menggiringku ke bangku-bangku panjang di depan kantor polisi tempat aku menunggu tadi. Ditto menyalimi tangan mama dan saling sapa dengan Ra.

"Kamu pulang aja, Ditto. Nanti orang tua kamu nyariin," ujar mama.

"Ah tante, Ditto udah gede gini mah udah jarang dicariin. Hehe," jawabnya sambil cengengesan.

"Kamu kesini bareng mobil Ari?"

"Iya, Tante."

"Yaudah kamu bawa pulang aja mobil Ari, biar Ari pulang bareng tante."

"Oke tante, sebentar lagi ya."

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya papa keluar bersama polisi tadi. Aku langsung berdiri dan menghampiri papa.

"Gimana, Pa?" Tanyaku, meski aku tidak yakin 'gimana' apa yang kumaksud.

"Saat ini kita pulang dulu ya, biarkan Edgar istirahat. Dia baru saja selesai pemeriksaan panjang," kata papa, bicara selembut mungkin padaku.

"Papa ketemu dia?"

Papa mengangguk.

"Ri juga pengen ketemu, Pa." Pintaku.

"Edgar belum siap ketemu kamu, Ri. Apa pun alasannya, papa harap kamu mau mengerti Edgar sekarang. Biarkan dia sendiri dulu."

Papa benar, jika itu yang Edgar mau aku harus belajar untuk mengerti. Aku menunduk kesal. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku ingin permasalahan kami bisa diluruskan hari ini juga. Kulihat kertas dari Edgar yang dari tadi masuk kupegang.

"Pak, ada pulpen?" Tanyaku pada pak polisi. Lalu dia menyerahkan pulpen yang berada di saku bajunya.

Aku duduk dan menjadikan bangku panjang tempatku duduk tadi sebagai alas untuk menulis. Kutuliskan sebuah pesan singkat untuk Edgar.

'Gar, jangan berhenti percaya sama gue ya. Semarah apa pun gue sama lu, lu tetap selalu ada dalam pikiran gue.'

Mungkin ini cukup untuk membuat Edgar mengerti bahwa aku ingin berbaikan dengannya. Kulipat kertas itu dan memberikannya pada pak polisi.

"Tolong titip ini ke Edgar ya, Pak," pintaku sambil tersenyum. Pak polisi itu mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak." Titip Edgar ya, sambungku dalam hati.

**

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang