Chapter 18

88 6 0
                                    

Aku kini sudah berada di tribun pinggir lapangan futsal. Tribun tanpa bangku, hanya semacam coran semen yang berundak-undak. Sesaat setelah Ditto meninggalkanku di ruang kesehatan, Edgar kembali dan mengajakku kesini untuk menyaksikan pertandingan final. Ya, tim fakultas teknik masuk ke final dan bertemu dengan tim dari fakultas MIPA. Sebelumnya digelar pertandingan untuk menentukan juara tiga yang dimenangkan fakultas hukum.

"Nih," Edgar menyodorkan sebuah gelas plastik yang berisi jus melon. "Kesukaan lu kan?"

Aku menerimanya sambil tersenyum. Edgar duduk di sebelah kiriku, di kerumunan mahasiswa fakultas teknik lainnya. Langsung kuseruput saja minuman yang dibelikan Edgar ini. Selalu manis seperti biasanya.

Akhirnya para pemain mulai masuk lapangan untuk pemanasan sebentar. Supporter fakultas teknik berteriak-teriak riuh. Berbagai pernak-pernik bertuliskan FT digoyang-goyangkan di udara. Kurasa fakultas teknik bisa dinobatkan sebagai supporter terheboh nih.

"Kok diem aja? Gak mau komentar?" Kataku pada Edgar, menyindirnya. Mengingat keributan dan hal-hal norak biasanya cukup mengganggu Edgar.

"Hah?"

"Kok diem aja?"


"Hah?"

Aku melotot padanya. Ternyata benar dugaanku, dia hanya pura-pura tidak dengar lalu tertawa jahil.

"Gue udah budek dari tadi denger ramenya anak-anak teknik." Nah itu dia sindiran yang kunantikan.

"Hah?"

Edgar melihatku dengan wajah gemas. Lalu dia beralih memandang ke seseorang di belakangku.

"Ri," panggil orang itu dari sebelah kananku. Aku mendongak dan melihat kak Taufan sedang menyodorkan kunci mobilku.

"Udah selesai?" Tanyaku sambil meraih kunci itu.

Kak Taufan mengangguk dan langsung duduk di sebelah kananku yang memang kosong dari tadi.

"Kena berapa?"

"Udah woles Ri, gak berat kok masalahnya."

"Ah gak kak, nanti saya ganti kak," aku memaksa.

"Iya Ri."

"Thanks kak."

Kak Taufan tersenyum, tangannya menepuk-nepuk kepalaku lagi sambil berkata, "sama-sama Rii."

Peluit tanda pertandingan dimulai terdengar jelas dibalik teriakan dukukan masing-masing supporter. Aku dan kak Taufan langsung mengalihkan pandangan ke lapangan.

Tiba-tiba Edgar berdiri dan lewat di depanku. Aku memandanginya dengan penuh tanda tanya. Dia menatapku, "Geser."

Aku bingung. Apa maksudnya coba? Kulirik pada kak Taufan, dia juga sedang memperhatikan tingkat aneh Edgar.

"Geser, Ri." Ulang Edgar. Akhirnya aku nurut dan bergeser ke arah tempat duduknya tadi. Sedetik kemudian dia duduk di tempatku, sehingga kini Edgar duduk di tengah-tengah antara aku dan kak Taufan.

Aku mengerti sekarang. Aku tertawa kecil saat paham kenapa Edgar bertingkah seperti itu. Dia tidak ingin aku duduk sebelahan dengan kak Taufan. Pasti dia cemburu. Kudengar kak Taufan batuk seperti dibuat-buat.

Babak pertama berakhir dengan kedudukan 2 sama. Kak Taufan pamit padaku karena panitia diminta berkumpul untuk persiapan pembagian hadiah. Akhirnya tinggal aku berdua dengan Edgar lagi. Rasanya bosan juga hanya diam-diam saja dari tadi, karena tidak ada yang bisa dibahas saat ada kak Taufan.

Aku menatap Edgar sambil tersenyum untuk meledeknya. Menggodanya atas tingkah anehnya tadi.

"Kenapa lu?" Katanya galak.

"Jealous?"

"Gak!"

"Ngaku aja udah," desakku.

Edgar tidak langsung menjawab.

"Bener kan?"

"Kan udah gue bilang, cuma gue yang boleh gituin lu," katanya. Maksud Edgar pasti memegang kepalaku.

"Yaudah nih," aku memiringkan kepalaku pada Edgar. Bukannya mengusap kepalaku, dia tiba-tiba menjitak kepalaku cukup keras.

Aku menatapnya kesal sambil memegangi kepalaku di tempat jitakannya mendarat. "Apa-apaan sih?" Aku menggerutu.

"Ya kali gue begitu di tempat umum," dia membela diri.

"Oo gak berani. Tapi kak Taufan berani tuh," aku meledeknya terus, mumpung ada bahan.

"Diem atau gue tinggal nih!" Edgar kehabisan kata-kata.

Aku tertawa melihat wajah kesal Edgar. Dia membuang muka dariku, malu. Kami saling diam beberapa saat. Aku memilih untuk mengecek notifikasi di ponselku dan membalas beberapa pesan.

"Besok temenin gue ya," kata Edgar.

"Kemana?" Tanyaku tanpa menoleh padanya, masih fokus ke layar ponsel.

"Ngecek apartemen."

"Yah."

"Yah kenapa?"

"Lu gak tidur di kamar gue lagi dong?"

"Cepat atau lambat juga gue keluar dari rumah lu kali, Ri. Masa iya gue numpang selamanya."

"Gue gak masalah kok," tukasku cepat.

"Gue yang bermasalah."

"Kenapa?"

Edgar mendekatkan wajahnya ke telingaku untuk membisikkan sesuatu. "Gue gak bisa tidur kalau ada lu. Pengennya gue perkosa."

"HEH!!" Aku berteriak. Beberapa supporter yang dari tadi sibuk sendiri jadi pada menoleh ke arahku.

"Bercanda, Ri. Haha." Dia tertawa jahil. Bercandanya cabul juga nih anak.

Selanjutnya babak kedua dimulai. Pertandingan final futsal adalah pertandingan final terakhir. Sepertinya acara pembagian piala akan diselenggarakan disini karena kulihat tadi beberapa panitia sibuk mengangkut meja-meja ke pinggir lapangan.

Kulihat Ditto sedang menggiring bola, tapi saat hendak mengoper ke temannya, bola dihalau tim lawan. Bola mendarat ke kaki tim FT lainnya di tengah lapangan. Tanpa pikir panjang, dia langsung menendang lambung ke depan. Sial, tendangannya terlalu ke kiri, tidak tepat mengarah ke gawang. Tiba-tiba saja Ditto muncul dan menyundul bola itu masuk ke gawang. Tribun langsung riuh dengan teriakan dan seruan-seruan yang kencang. Tim fakultas teknik unggul.

Kulihat Edgar menutup telinga. Aku tertawa melihatnya. Memang berisik sekali, tapi ramai seperti ini benar-benar memeriahkan suasana. Bahkan aku sempat lupa kalau turnamen ini adalah rangkaian acara OSPEK.

Sampai peluit panjang berbunyi, tidak ada gol lagi yang tercipta. Fakultas Teknik menang! Para senior fakultas teknik yang berada dipinggir lapangan langsung berlari masuk lapangan dan memeluk para pemain yang juga sedang bergembira.

Melihat para senior turun ke lapangan, para mahasiswa baru fakultas teknik tidak mau kalah. Semuanya langsung berebutan berlari turun dari tribun dan menuju lapangan. Biarpun ada juga yang malu-malu dan memilih tetap duduk di tribun. Termasuk diriku. Aku tidak tega meninggalkan Edgar sendirian.

"Ri! Ayo!" Kak Taufan berteriak memanggilku. Dia berdiri di tangga dua bangku di bawahku. Aku melambaikan tangan menolak.

Kak Taufan berjalan mendekatiku. Tanpa permisi dia langsung menarik tanganku, "ayo! Lu anak teknik bukan?" Dia terus menarik tanganku hingga aku harus mengikutinya berjalan menuruni tribun.

Aku melihat ke arah Edgar. Dia terlihat kesal. Aku tahu kak Taufan membuatnya kesal, tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa menolak semua perlakuan kak Taufan padaku. Dia seniorku dan aku juniornya. Terlebih lagi kami ada di jurusan yang sama.

Saat di lapangan aku memberikan selamat pada Ditto yang mencetak gol kemenangan. Semuanya bersorak-sorai gembira. Kulihat lagi ke arah tribun tempat dudukku lagi. Kurasa tidak semua orang, Edgar masih terlihat kesal dari kejauhan. Sial, kenapa aku selalu terjebak dalam situasi seperti ini. Aku tidak suka jika aku menyakiti hatinya.

Sorry Edgar, kalau keadaan ini selalu membuat lu cemburu. Lirihku dalam hati. Masih terus memandanginya dengan perasaan bersalah.

**

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang