Chapter 17

82 7 0
                                    

Aku membuka mata dan tidak melihat langit. Aku berada di sebuah ruangan. Aku terbaring di atas sesuatu yang cukup empuk. Ah pasti ruang kesehatan. Entah berapa lama aku pingsan karena kena pantulan bola tadi.

"Ri."

Aku tidak bisa menengok ke sumber suara untuk melihat siapa itu. Terdengar seperti kak Taufan. Sedetik kemudian dia sudah berdiri di sebelahku dan aku dapat melihat wajahnya yang begitu cemas.

"Akhirnya sadar." Kak Taufan terlihat lega.

Aku mencoba bangkit dengan ditopang tanganku. Kak Taufan langsung memegang pundakku dan menahanku untuk tidak bangkit.

"Jangan bangun dulu, nanti kepala lu pusing."

Aku menurut. Aku kembali berbaring dan menatapi langit-langit ruang kesehatan tanpa tahu harus apa sekarang. Aku merasakan sakit di bagian hidungku, sepertinya disitu bola mengenaiku. Tepat dihidung dari bawah. Sepertinya sampai berdarah karena aku mencium ada aroma aneh.

Kak Taufan terus memandangiku sambil tersenyum. Tangannya membelai-belai rambutku dengan lembut. Aku merasa nyaman sehingga kuterima saja perlakuannya itu.

Aku mencoba bangkit lagi setelah beberapa menit. Kak Taufan tidak menghalangiku sekarang, dia membantu memiringkan bagian atas kasur sehingga aku masih bisa duduk bersandar.

"Fan, dicariin Gilang!" Kata seseorang di pintu masuk ruang kesehatan.

"Ada apaan?"

"Gak tau. Buru." Orang itu langsung pergi begitu saja.

Kak Taufan menatapku. "Lu gak pa-pa gue tinggal sebentar, Ri?"

"Gak... gak pa-pa kak."

Dia menatapku tidak percaya. Dia sepertinya memang harus menemui kak Gilang tapi berat untuk meninggalkanku sendiri.

"Itu ada makan siang buat lu. Kalau lu laper, langsung makan aja. Gue langsung balik setelah urusan sama Gilang selesai ya, Ri." Kak Taufan menunjuk sebuah kotak putih di meja pojok ruangan.

Aku mengangguk dan kak Taufan langsung meninggalkanku sendiri.

Kusandarkan kepalaku dan menatap kosong ke sebuah poster berbentuk tubuh manusia yang ditempel di dinding di hadapanku. Tiba-tiba kudengar suara pintu ruang kesehatan terbuka. Cepat sekali kak Taufan perginya?

Aku menengok pelan ke arah pintu, ternyata Edgar. Dia menyeringai seperti sedang meledekku. Di tangannya ada satu botol air mineral. Aku mencoba tersenyum padanya, tapi otot hidungku seperti tertarik sehingga menimbulkan rasa sakit. Edgar berjalan sampai di pinggir kasur.

"Gue bilang apa, lu harusnya main bola bekel." Sindirnya.

Aku membuang muka padanya, menatap poster tadi. Orang lagi sakit malah dihina.

Tangan Edgar memegang daguku dan memutar kepalaku perlahan, sehingga aku bisa menatapnya lagi. Edgar menatapku tidak setajam biasanya, kulihat dia cemas dan khawatir.

"Jadi siapa yang menang?" Tanyaku setelah beberapa saat kami hanya saling bertatapan, kukira tadinya dia mau menciumku lagi. Haha.

"FH lah," katanya bangga.

Cih, aku merasa bodoh menanyakan hal itu.

"Udah makan?" Tanyaku.

"Belum."

"Yaudah yuk makan, di kantin FH. Traktir karena FH menang," tuntutku.

Aku mengangkat tubuhku tapi Edgar mendorongku lagi sehingga aku kembali bersandar. "Bodoh," tukasnya.

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang