Chapter 8

107 8 0
                                    

Hari kedua OSPEK rasanya memiliki jadwal yang lebih padat dari hari kemarin. Aku dan teman-teman satu jurusan masuk beberapa kelas dengan pemateri dari kakak-kakak senior. Mereka memberikan pengenalan kampus dan jurusan, serta sejarah dan filosofi bangunan kampus dan sekitarnya.

Materi yang membosankan karena aku bisa membaca semuanya di Google. Aku berusaha keras menahan kantuk. Aku benar-benar kurang tidur. Aku tidur larut karena harus membuat name tag dari kardus yang baru disuruh kemarin. Bentuk dan warnanya sudah ditentukan sesuai dengan jurusan. Punyaku berbentuk rumah berwarna merah. Aku jadi paham apa maksud warna pada pintu-pintu di bangunan sekretariat kemarin. Itu melambangkan warna jurusan yang menempatinya.

"Gue mau kalian tulis selengkap-lengkapnya, gak ngasal, di kertas yang dibagiin sama kakak-kakak. Kita bakal tahu kalau ada yang isi ngasal, dan siap-siap aja terima hukuman," kata kak Gilang di depan barisan maba fakultas teknik. Kami duduk di lantai dasar gedung fakultas. Jadi tidak terpapar matahari langsung.

Beberapa senior lain sibuk membagikan kertas yang dimaksud kak Gilang. Seorang senior cewek memberikan padaku. Isinya semacam form biodata, berisi nama, tempat tanggal lahir, dan lain-lain. Tidak ada yang aneh. Ada juga kolom hobi dan eksrakurikuler yang pernah diikuti di SMA. Aku? Bola voli, meski tidak pernah masuk tim inti.

"Yang selesai, bisa langsung ke depan dan istirahat makan siang," tambah kak Gilang. Ucapannya itu jadi pelecut semangat anak-anak lain untuk segera menyelesaikan mengisi biodata. Aku juga. Aku sudah lapar, dan ngantuk. Paket lengkap.

"Ri, tidur termasuk hobi?" Tanya Tian yang duduk di sebelahku. Kurasa dia selalu di sebelahku dari pagi tadi, hanya kadang saja aku tidak menyadari keberadaannya.

"Mungkin." Aku berusaha fokus mengisi formulirku.

"Kalau bersih-bersih kamar mandi?"

"Hobi itu ya apapun yang lu senang melakukannya, Tian," jawabku gemas. Mengganggu saja.

"Kalau sayang sama orang yang gak sayang sama kita?"

Wah benar-benar nih anak. Jelmaan Ditto dari desa. Aku langsung melotot padanya, tapi dia tidak bergeming. Eh, masa sih dia serius nanya begitu?

"Itu hobi lu?"

"Hehe enggak, Ri. Hobi gue disayang tapi gak bisa sayang balik ke orang itu." Tian terkekeh.

"Ha!" Aku pura-pura tertawa dan kembali fokus pada formulirku.

Sekitar lima menit kuhabiskan untuk mengisi semuanya. Aku tidak bisa menulis cepat dengan tangan. Kalau aku melakukannya yang ada tulisanku tidak akan terbaca dan disuruh mengulang oleh senior.

"Lu udah, Tian?"

Hilang. Tian sudah tidak duduk di sebelahku, entah kemana. Apa dia sudah selesai? Tapi aku tidak melihat dia beranjak dan maju ke depan untuk mengumpulkan formulirnya. Lagipula, kenapa dia tidak bilang-bilang kalau sudah sih?

Saat aku akan berdiri, ada pesan whatsapp masuk dari Edgar. Semalam kami sudah saling tukar nomor ponsel untuk memudahkan kami janjian pulang.

'Ri.'

Dengan cepat kubalas, 'ya?'

'Gue tunggu di kantin FH, tempat kemarin.'

Mau apa nih anak tiba-tiba. Apa dia mau ngajak makan siang bareng. Aku teringat dia kemarin siang duduk sendiri disana. Jiwa baikku berkata aku turuti saja kemauannya. Setelah mengumpulkan kertasku pada kak Taufan, aku langsung berjalan menuju pintu keluar gedung fakultas teknik hingga Ditto muncul entah darimana.

"Mau kemana, Ri?"

"Makan."

"Kantin kan disana," Ditto menunjuk arah belakang gedung, dimana ada pintu tembusan menuju kantin fakultas teknik.

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang