Chapter Twenty Four

248 46 0
                                    

All Might POV

Aku rasa baru beberapa minggu yang lalu Yuriko membuat masalah dengan Aizawa. Atau memang itu baru minggu lalu?

Sekarang aku bisa melihat setiap urat di kepala Aizawa mencuat dan dia akan menyalak garang pada setiap orang. Menyalak menggunakan matanya, karena tidak ada yang lebih menakutkan dari pada Aizawa dan tatapannya.

"All Might," panggilan penuh nada membunuh itu berhasil membuat merinding di seluruh tulang belakangku. Masih tersenyum lebar, aku berbalik dan berusaha memasang aura intimidasi melalui otot dan tubuh besarku.

"Ada yang bisa kubantu, Aizawa?" Aku bertanya seramah mungkin, karena aura intimidasi milikku mulai menciut.

"Ya, bawakan kepala Yuriko ke kantorku."

Aku benar-benar akan di bunuh.

"Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu. Kita Hero, bukan pembunuh."

"Yuriko masuk UA untuk menjadi Hero, tapi dia sekarang lebih terlihat seperti pencuri."

"Aku menyalahkan kebiasaan Underground Hero miliknya."

Aizawa mengangkat alisnya, merasa tersinggung. "Aku tidak bisa berkomentar tentang itu. Dia terlalu muda untuk terjun ke tempat seperti itu."

Aku merasa ketegangan mulai mengendur. "Dia memiliki tujuan, setidaknya dia mempertahankan hidupnya."

"Tujuan yang membawanya ke jalan yang salah." Komentar tajam Aizawa sedikit menusukku.

Aku teringat masa-masa awal mengasuhnya. Yuriko bukan anak yang bisa terbuka pada siapa pun, bahkan sampai saat ini dia terbiasa memendam dan menyimpan semua perasaannya. Hubungan Ayah-Anak kami tidak banyak mengalami kemajuan. Setelah aku mengenalkannya pada Aizawa, mengikuti ambisi dan keinginannya, meski harus mendapatkan kritikan keras dari berbagai pihak. Dia mulai membuka semuanya padaku, meski hanya sebatas ambisi dan tujuan hidupnya.

"Aku tahu, aku belum menjadi ayah yang baik. Tapi jujur, aku tidak merasa menyesal sama sekali, mengenalkanmu padanya." Aku tersenyum kecil, "pertama kalinya, aku melihat kilatan kehidupan di balik matanya yang seolah mati setelah kejadian itu."

Kali ini Aizawa pun tidak membantah. Dia pun pasti menyadari, lebih baik menghidupkan cahaya di dalam Yuriko dengan cara ini dari pada membiarkannya mati perlahan di kegelapan. Sekarang Aizawa benar-benar menyerah untuk meminta kepala Yuriko di atas mejanya. Aku pun merasa bersyukur untuk itu.

"Suruh dia mengembalikan Lisensinya padaku siang ini juga."

"Lisensi apa Sensei?"

Aku terkejut dengan kehadiran Yuriko di balik punggung Aizawa, sedangkan yang bersangkutan hanya menggeram kesal dan kembali memasang aura membunuh.

"Jangan bermain-main, kembalikan sekarang juga." Aizawa mengulurkan tangannya, tetapi Yuriko mempertahankan ekspresi bingung itu.

"Aku tidak mengambilnya, lisensi itu selalu ada di kantung celanamu."

"Selain pintar mencuri, kau juga pintar berbohong ya." Aizawa merogoh kantong celananya dan terdiam setelah sepertinya menemukan sesuatu.

Dia mendelik galak sekali lagi pada Yuriko dan pergi tanpa berpamitan.

"Lihat, dia sendiri tidak punya sopan santun." Yuriko memasang wajah kesal.

Aku tersenyum kecil, tanpa menyadari mengarahkan tanganku ke kepala gadis itu. Setidaknya dia pulang tanpa luka apa pun. "Sepertinya Hawks menjagamu dengan baik."

Aku mengacak-acak rambutnya, membuat Yuriko menirukan suara geraman Aizawa tadi dengan baik. Tetapi dia tidak menepisnya. "Kalian masih memperlakukanku seperti anak kecil."

"Kau memang masih anak kecil."

Setelah berhasil menghindar serangan usapan kepalaku, dia mendengus kesal lagi. "Aku berhasil menyusup ke mafia paling ditakuti dan paling susah untuk dimasuki mata-mata di Jepang. Kalian serius masih menganggapku anak kecil?"

Aku tersenyum lembut, menyadari begitu banyak waktu yang di renggut dari kami. "Kau tetap gadis kecil ku. Selalu tersenyum ketika sedih dan mengurung diri di kamar mandi ketika marah."

Wajah Yuriko memerah mengingat masa lalu. "Aku sudah tidak pernah melakukan itu lagi."

Aku mengangkat alisku, "mengurung diri ketika marah?"

"Dua-duanya." Sergahnya.

"Tidak, kau masih sering tersenyum ketika sedih. Senyuman itu, justru memperlihatkan emosi yang sesungguhnya."

Yuriko terdiam lama, seolah menyadari hal itu. Akhirnya aku menyerah menggodanya, setelah dia menunjukkan niat baja untuk menyembunyikan dirinya dan membangun tembok besar diantara kami. Padahal aku cukup percaya diri tembok itu mulai runtuh perlahan.

"Jadi, Hawks mengajarimu apa saja?" Ujarku berbasa-basi. Sekolah sudah mulai sepi, karena itu kami berjalan tanpa arah menelusuri koridor.

"Memangnya dia bisa mengajariku apa?" Perkataan yang sangat sombong itu tidak mengejutkanku.

"Kau menjadikannya asistenmu lagi? Jangan keras padanya, dia sudah bersikap sangat baik padamu." Nasihatku, meski aku ragu akan didengarkan.

Sesuai dugaan, Yuriko mendengus tidak peduli. "Aku dan dia sama-sama aktor yang baik. Kami sudah menjadi mata-mata sejak kecil."

Aku menelan kalimat berikutnya, tidak ingin membawa-bawa masa lalu lain yang akan mengganggu kegiatan jalan sore kami.

"Bukan berarti dia tidak tulus padamu." Aku masih tidak menyerah.

"Menurutmu, apa definisi 'tulus' itu sendiri Toshi-San?" Dia justru melontarkan pertanyaan dengan gaya seorang filsuf.

Aku enggan menjabarkannya, karena aku sendiri belum bisa menemukan makna terdalam dari kalimat tersebut. Kegiatan kami kembali di lalui oleh kesunyian.

"Toshi-San," panggilan itu terdengar dipenuhi keraguan. Aku menoleh dan mendapati Yuriko memandang jauh ke lapangan.

"Aku ingin kau mengingatkannya, tidak semua orang bisa dia selamatkan." Aku memahami arah pembicaraan ini. "Jangan sampai dia membuang nyawanya hanya untuk hal bodoh. Jangan wariskan kecerobohanmu, ajarkan dia untuk berpikir rasional dan menyadari batas kemampuannya."

Aku sedikit tersinggung dengan kalimat itu, tetapi tidak bisa membantahnya.

"Aku memang harus mengingatkannya untuk menahan diri. Tapi aku tidak akan mengubah prinsipnya. Karena itulah aku memilihnya, dirinya yang memiliki keberanian yang bahkan susah di dapatkan oleh Hero sekarang." Aku menegaskan kalimatku.

Yuriko tersenyum sinis. "Kalau begitu, persiapkan dirimu untuk kehilangan pewaris dalam waktu dekat."

Kali ini aku benar-benar tersinggung. "Kau tidak bisa meremehkannya seperti itu. Kau bahkan tidak mengenalnya."

"Kau lebih mengenalnya dari pada mengenalku, benar kan Toshi-San?" Air muka Yuriko menggelap.

Aku semakin frustasi dengan pemikiran dan keputusan sepihak Yuriko. Tetapi sebelum aku sempat menyangkal ucapannya, gadis itu sudah menghilang menjadi butiran kristal. Aku menarik nafas terkejut, dia tidak pernah menggunakan quirknya dengan modifikasi sesempurna ini di depanku.

Gadis kecilku sudah berkembang jauh, tapi rasanya semakin jauh untukku gapai.

Blue Rose [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang