Chapter Twenty

323 57 1
                                    

Yuriko POV

Aku menonton pertandingan dari tribun VIP yang berada jauh dari tribun para siswa seharusnya. Ruangan berlapis kaca dan dilengkapi dengan bangku empuk itu hanya di tempati oleh seseorang. Aku melirik Toshi-San yang sedang duduk dengan tubuh kurusnya, ia sengaja meminta tempat khusus agar tidak terlalu menarik perhatian.

"Jadi, kenapa memanggilku ke sini Sensei?" Kataku dengan tambahan nada mengejek ungkapan Sensei padanya.

Seperti dugaanku, dia tidak nyaman. "Toshi saja ketika berdua, Yuriko-Chan."

Aku mengangguk dan kembali memperhatikan pertandingan di arena, jauh di bawah sana. Kirishima sedang sial, dia melawan seseorang dari kelas B yang memiliki quirk sejenis dengannya dan mereka dalam posisi imbang.

"Kenapa kau malah mengalah di babak pertama?" Aku bisa melihat gelengan kepala Toshi-San dari sudut mataku.

Aku teringat kejadian saat babak pertama. Aku tahu Toshi-San menaruh harapan besar pada penerusnya itu, jadi aku memutuskan untuk tidak terlalu menganggap serius perlombaan itu. Lagi pula, jika ingin mengamati perkembangan bocah itu, yang perlu aku lakukan sekarang aku menonton pertandingan dan menuliskan kritikan pedas untuk diserahkan pada Toshi-San.

Aku berhenti di saat robot pointer 0 bermunculan dan menghalangi pada peserta. Menunjukkan gaya berpikir yang cukup serius, seolah bersiap meledakkan robot tersebut dengan laser akibat tajamnya tatapanku. Tapi robot itu malah meledak akibat serangan peserta lain dan membuatku mengambil kesempatan itu dan melesat maju. Sampai di garis akhir, meski tahu aku tetap tidak akan lolos, aku tidak menggunakan quirku sama sekali.

Sebagai underground hero, muncul di TV dan menarik perhatian adalah suatu penghinaan. Sebaiknya menyembunyikan segala kemampuan dan menjadi bayangan. Sehingga jawaban itulah yang aku berikan pada Toshi-San. Wajahnya semakin mengerut tidak puas. Aku mengacuhkan reaksinya itu dan ikut mengerut tidak puas ketika kedua peserta itu justru tumbang akibat hantaman yang sama-sama kuat dan bisa mematahkan perisai masing-masing.

Aku memandang jauh ke tribun peserta dan mendapati Momo dan Jirou saling berpandangan khawatir, mereka terus-terusan mengecek smartphone. Aku mengeluarkan handphone lipatku dan mendapatkan masing-masing tujuh panggilan. Moodku benar-benar sedang tidak bagus, jadi sebaiknya aku tidak usah kembali, dari pada harus melepaskan topengku di hadapan mereka.

Pertandingan terus berlanjut, aku dan Toshi-San sama-sama tidak bersuara di ruangan besar itu. Sampai pertandingan antara sang penerus agung itu dengan anak dari Hero nomor 2, Todoroki Shoto dimulai. Saat itulah ruangan itu dipenuhi segala macam hinaan dan kalimat celaan yang bisa aku keluarkan. Toshi-San sesekali membetulkan kata-kataku yang terlalu kasar sebagai bahan pelajaran tambahan untuk penerusnya itu.

"Anak itu terlalu mempedulikan orang lain." Adalah komentar terakhir yang bisa aku ucapkan setelah bocah itu tertanam di tembok luar arena, sedangkan Todoroki berdiri di pinggir arena dengan baju yang setengah terbakar.

"Karena itu aku memilihnya." Jawab Toshi-San.

"Dia sangat mirip denganmu." Setelah tidak mendapatkan jawaban, aku meninggalkan ruangan itu. Toshi-San pasti ingin menjenguk bocah itu di ruang kesehatan.

Aku tidak terlalu ingat bagaiaman aku bisa menghindar dari teman sekelasku dan berhasil pulang tanpa berhadapan lagi dengan Aizawa, tapi setidaknya aku berhasil sampai di rumah. Aku masih sering melirik handphone, menunggu panggilan untuk misi selanjutnya. Tapi sudah satu minggu ini aku tidak mendapatkan misi apa pun. Membuatku curiga, karena aku cukup terkenal untuk misi penyamaran dan permintaan untukku tidak pernah sepi.

Malam ini udara dingin semakin menusuk-nusuk kulit, tapi tidak akan terasa olehku yang mulai kehilangan kemampuan untuk merasakan sesuatu. Hal itu yang membuatku bertahan di balkon sempit apartemen sambil terus-terusan menunggu panggilan misi di handphone. Menjelang pukul 11 malam, aku merasakan seseorang mendarat dengan halus di pembatas balkon. Masih merenung sambil menunggu adanya bintang jatuh di langit, aku mengatur kerutan di wajahku sebaik mungkin.

"Kenapa seekor burung sampai hinggap di balkonku?" Gerutuku, melepaskan frustasi akibat sepinya panggilan misi akhir minggu ini.

"Jahatnya!" Burung itu mencicit kesal sambil berusaha duduk di pegangan balkon, tepat di sebelah wajahku. Sepatu merah yang ia kenakan menggantung di pinggir balkon, sayap merahnya ia lipat rapih di punggung, meski hembusan anginnya sempat membuat rambutku berantakan.

Kami sama-sama terdiam, tidak ada yang berniat membuka percakapan. Tapi aku mulai menghitung dalam hati, mengingat keberadaan burung besar itu di balkonku hanya untuk menghancurkan malam tenangku.

"Aku ingin mampir ke festival olahraga UA tadi, tapi tidak jadi karena tidak melihat namamu setelah babak pertama." Dia mengatakannya dengan nada ceria seperti biasanya. "Padahal aku ingin melihatmu babak belur."

Aku menyenggol tubuhnya keras, membuatnya sedikit oleng sebelum berhasil mempertahankan keseimbangannya di pegangan balkon yang kecil ini. "Sudah ku bilang, bagi seorang underground hero, mendapatkan sorotan merupakan penghinaan. Tidak bisa ya kau menghargai prinsipku?"

"Aku tahu, aku tahu." Dia menggaruk kepalanya. Sedikit menggeser posisi kacamata yang ia gunakan untuk menghalangi poni panjangnya. "Kau benar-benar murid Eraserhead."

Aku memicing curiga pada laki-laki itu, teringat akan sepinya panggilan kerja yang kudapatkan. "Kau mencuri misi-misi ku ya?" Tuduhku.

Dia mulai tertawa lagi, seakan tidak merasa bersalah sama sekali. Aku menahan keinginan untuk menggorok leher burung itu. "Aku hanya meringankan bebanmu. Memangnya kau masih bisa aktif sebagai underground hero setelah sekolah di UA?"

"Soal itu, biar aku yang memutuskan."

"Kau bolos 3 hari penuh."

"Aku sudah menyelesaikan masalah itu dengan Aizawa."

"Lupakan dulu misi-misimu, fokus saja pada pendidikanmu. Aku harap kau bisa mengejarku dengan cepat setelah lulus." Dia terus mempertahankan cengiran miliknya.

"Aku bahkan sudah hampir setara denganmu, jika saja underground hero memiliki peringkat." Aku mendengus tak acuh. Kemudian sesuatu kembali melintas di benakku, aku melirik laki-laki berambut kuning itu dengan ragu. "Aku tidak bisa mengabaikan misiku lagi, Hawks. Aku sudah menemukan petunjuk tentang perempuan itu. Jika tidak kukejar segera, aku merasa akan kehilangan jejak samar itu."

Hawks mengerut tidak senang, selalu begitu setiap aku membahas mengenai tujuanku. Aku tentu tidak perlu mempedulikan senang atau tidaknya dia, karena ini adalah tujuan hidupku.

"Kau masih ingin mengejarnya?" Pertanyaan itu keluar setelah dia teridam cukup lama, seolah memikirkan langkah yang akan dia ambil.

"Tentu saja. Jika tidak, untuk apa aku masih melanjutkan hidupku sampai sekarang." Ungakpku.

"Untuk program magangmu setelah ini," Hawks mengembangkan sayapnya dan mulai mengepakkannya. "Aku akan mengirim permintaan untukmu, datang saja padaku."

Aku tertawa kecut. "Memangnya aku bisa belajar apa dengan magang bersamamu?"

"Aku menawarkan magang sebagai underground hero, jadi pastikan kau mencuri lisensimu lagi dari Eraserhead." Katanya sambil terbang menjauh.

Aku cukup terkejut akan ajakannya, tetapi kemudian tersenyum senang. Meski aku akan diawasi 24 jam oleh laki-laki itu, ini salah satu kesempatan lain yang jarang aku dapatkan. Hawks sering mengatakan kalau dia akan menjadi kakakku sampai kakak perempuan ku kembali. Meski saat itu aku menyuruhnya untuk memakai wig dan berdadan layaknya perempuan untuk menyempurnakan leluconnya, tetapi ternyata dia benar-benar serius. Sesekali datang berkunjung, meski tidak pernah lewat pintu depan, bertanya mengenai hariku, atau seperti tadi, mengcover misi-misi yang diberikan padaku. Mungkin, dia adalah orang kedua setelah Toshi-San yang benar-benar dekat denganku.

Setelah puas tersenyum akan ajakan baik hati itu, aku mulai menyusun rencana untuk menyelinap ke ruang guru dan mencuri lisensiku.

Blue Rose [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang