Chapter Two

729 94 0
                                    

Yuriko POV

Seperti biasa, All Might akan datang untuk mengecek keadaanku. Aku tidak bercerita banyak padanya, hanya beberapa kegiatan yang rutin aku laporkan. Karena sejujurnya, aku merasa dia hanya kasihan padaku. Gadis kecil malang yang kehilangan keluarganya. Serta ditinggal pergi oleh kakak perempuan yang sekarang menjadi penjahat. Trauma masa kecil masih menghantuiku, tapi bukan berarti aku seperti anak mati yang tidak melanjutkan kehidupanku.

All Might sudah sering membujukku untuk meninggalkan pelatihan menjadi underground hero dan pergi untuk sekolah di SMP biasa. Tetapi sepertinya dia menyerah beberapa bulan yang lalu. Sekarang aku masih tangan kanan hero dan melakukan tugasku berdasarkan perintah. Mereka menghormatiku akibat umurku yang masih di bawah ketentuan dengan kekuatan besar dan bisa membantu mereka dalam tugas-tugas kotor seperti ini.

Aku memakai hoddie putih pemberian All Might di ulang tahunku yang ke 13 kemarin. Dipadukan dengan rok kotak-kotak biru selutut dan kaus kaki semata kaki dengan garis lingkar biru, dipadukan dengan sepatu kets putih. Aku selalu berpenampilan normal agar dia tidak terlalu khawatir mengenai keadaanku. Jika tidak menemuinya, aku akan memakai kaos hitam, celana jeans pendek dan sepatu boots. Tidak cocok dengan umurku, tetapi selalu pas untuk penyamaran dadakan. Informasi tambahan, kami sebagai Underground hero tidak memiliki kostum pahlawan. Kami bekerja bukan untuk ketenaran, atau pun sorotan lampu dan ucapan terima kasih. Kami ada untuk membasmi penjahat.

Aku memasuki restoran cepat saji MD, melirik kiri kanan sebelum melihat pria tua kurus melambai dengan senyum kaku padaku. Aku tersenyum dan berjalan sedikit ceria ke arahnya.

"Apa kabar, Toshi-san?" Ucapku basa-basi. Aku melirik menu yang ada di pinggir meja dan melihat-lihat isinya.

"Baik, tentu saja. Kau sendiri bagaiamana? Ada perkembangan bagus dari pekerjaanmu?" Ujarnya kemudian pembiacaraan membosankan kami berjalan seperti biasanya. Aku sudah menghafal setiap urutan pertanyaan dan nasihat singkat yang dia ucapkan.

Hubungan kami sedikit dingin. Semua bermula ketika ia kalah dari All For One dan tidak berhasil menemukan kakakku. Laki-laki busuk itu menyembunyikan kakakku dengan baik. Bahkan aku belum menemukan informasi sedikit pun dari dunia bawah tentangnya.

Sebenarnya, ambisiku dimulai dari saat itu. Aku benar-benar menentang setiap ucapannya dan melakukan semuanya sendirian. Aku sudah tahu soal kondisinya, mendukung sir night eye untuk masa pensiun. Karena itulah hubungan kami menjadi seperti ini. Hanya bertukar salam dan sapa, menanyai kabar dan saling memberi semangat satu sama lain. Meski aku tidak harusnya bersikap seperti ini, karena aku berhutang budi pada laki-laki hebat ini.

"Yuri, aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Matanya menatapku dengan serius. "Aku sudah menemukan penerusku."

Kata-kata itu sedikit menusukku. Aku selalu berharap bisa meneruskan kekuatannya, tidak seberharap itu karena aku sadar posisiku.

Aku tersenyum, berusaha terlihat senang sambil memainkan sedotan dari minuman sodaku. "Bagus, apakah quirk nya sangat hebat?" Aku iseng bertanya.

"Tidak, dia tidak memiliki quirk." Kata-kata All Might sedikit menamparku. Aku memandangi meja cukup lama.

"Anak ini, akan mengikuti ujian masuk UA. Aku akan melatihnya untuk menerima kekuatan sebesar ini besok." Aku mengangguk disetiap informasi yang ia utarakan. Bagus, sekarang dia sudah memiliki anak baru yang akan bermain-main dengannya.

"Aku senang mendengarnya. Semoga latihannya lancar ya." Aku menyedot habis soda di gelasku dan bersiap-siap mengucapkan kalimat perpisahan. Aku rasa jadwal pengintaian akan dimajukan satu jam lebih awal.

"Yuri," All Might menatapku ragu-ragu. "Aku tahu, aku sudah menyerah untuk meminta-mu melakukan ini. Tapi, untuk terakhir kali, maukah kau mencoba mengikuti tes di UA?" Aku terkejut dengan permintaannya. Setelah hampir 4 bulan tidak pernah menyinggung masalah ini lagi.

Aku melangkah melewati trotoar dengan kepala tertunduk. All Might tidak meminta jawabanku segera, aku pun tidak bisa bereaksi saat itu. Aku kembali menengadahkan kepala saat menunggu lampu penyebrangan berganti warna, poster besar All Might terpampang di sebuah gedung tinggi. Aku mengernyit kesal.

Salahkah aku ketika menganggapnya sebagai ayahku?

Blue Rose [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang