Chapter Eighteen

317 67 0
                                    

Hai semuanya, makasih banyak udah bersedia ngeluangin waktu baca cerita aku. By the way, wattpad lagi error banget, jadi maaf kalo keacak-acak yaa chapternya. Aku lagi berusaha benerin, dan ini malah ke acak lagi. Pengen marah sebenernya, tapi karena kalian masih terus baca, aku bakal tetep lanjutin. Semoga gak keacak lagi chapternya, aku capek 😖

All Might POV

Aku berada pada posisi yang sangat canggung.

Di sebelah kiriku, Yuriko duduk dengan acuh sambil bersandar santai di kursinya. Tangan yang dipenuhi perban dibiarkan bergelantunga, pandangan matanya terlihat kesal, memicing tajam dan membuat balutan perban di keningnya mengerut curiga dan membahayakan. Setelah segala kerutan dan ketegangan ini hilang, aku harus segera membawanya ke Recovery Girl.

Aizawa sendiri duduk di hadapanku, memandang tajam dengan mata merah dibalik wajahnya yang terbabat perban sempurna. Kedua tangannya masih disangga, tetapi aura membunuh yang dia keluarkan membuatku yakin aku akan dicekik seketika. Aku sendiri yang dengan susah payah mempertahankan bentuk tubuhku, hanya bisa tersenyum kaku dan mengelap keringat dengan sapu tangan.

"Aku percaya kau punya penjelasan singkat soal absenmu yang berantakan belakangan ini." Suaranya sedikit teredam di balik perban mulutnya.

Yuriko mengeluarkan lisensi yang dia curi dari Aizawa tanpa perasaan bersalah. "Kita bisa bicara berdua Sensei, tidak perlu membawa-bawa Toshi-San kan?" Dengusnya.

Aku rasa dia kembali kesal denganku, atau dengan Aizawa yang menyeretnya tanpa belas kasihan ke ruangan konseling ini.

"Dia walimu, dia bertanggung jawab atas semua kelakuanmu." Ucapan Aizawa berhasil membuatnya tutup mulut.

Aku menenangkan dengan gugup. "Sudahlah Aizawa, biarkan dia menjelaskan dulu." Aku mulai bertanya-tanya peranku disini. Sebagai walikah, atau malah guru yang melerai pertengkaran sengit ini?

Yuriko menarik nafasnya, seolah berat baginya untuk memulai penjelasan. "Aku berhasil membuat obat penawar racun untukmu semalaman tanpa tidur dan memang aku mengambil lisensiku tanpa izin, tapi kau sedang sekarat dan tidak ingin mendengarku mengacau disaat-saat terakhirmu. Untuk alasan itu, tidak bisa ya melepaskanku saja hari ini?"

Sifat angkuh dan sombong yang ia tunjukkan hanya jika berhadapan dengan Aizawa mulai menguar. Terkadang, aku merasa takut dengan pergantian sikapnya yang sangat cepat. Dia bisa menjadi ceria dan periang seolah hidupnya normal-normal saja, bisa juga menjadi terlalu sopan dan kaku jika berhadapan denganku, dan tiba-tiba akan menjadi angkuh dan sombong dengan mulut setajam belati.

Perubahan sikap yang drastis itu sudah lama di peringatkan oleh dokter psikologis yang mengobatinya. Tapi setelah beberapa saat dia berhasil mengendalikan diri dan bisa menentukan sikap mana yang harus dia tunjukkan. Itulah kenapa dia bisa berkeliaran bebas sebagai underground hero di bawah sana tanpa pernah takut kepalanya akan terpenggal. Dia dikenal sebagai underground hero dengan kemampuan menyamar tingkat tinggi dan berhasil memasuki gerbong yakuza dan mafia serta beberapa gerombolan penjahat kelas S di bawah sana.

Aku senang dengan prestasi dan gelar yang ia dapatkan dalam kurun waktu kurang dari satu setengah tahun, tapi aku juga takut. Takut dia akan kehilangan jati dirinya. Takut menentukan ketika berbiacar dengannya, manakah dia yang asli. Takut aku tidak bisa menemukan Yuri kecilku lagi si sana.

"Jika aku mati saat itu dan kau mencuri lisensimu, aku pasti akan menghantuimu sepanjang malam sampai kau meminta maaf di depan makamku." Geram Aizawa.

Yuriko kembali memicingkan matanya. "Seharusnya aku membiarkanmu mati keracunan saja."

"Yuriko." Aku menegurnya keras, kata-katanya sudah keterlaluan. Dia mendengus kesal sebelum membenarkan posisi duduknya dan bersikap sopan kembali.

"Terkadang aku berpikir kau memiliki banyak kepribadian." Gumam Aizawa, berhasil membuatku merinding ketakutan.

"Aku juga kadang merasa seperti itu Sensei." Pandangan mata Yuriko terlihat kosong, aku mulai mengkhawatirkan kondisi psikisnya. Aku tergerak untuk menggapainya, tapi kemudian dia kembali menjatuhkan dirinya ke belakang. Kepalanya meneangadah ke langit-langit ruangan.

"Dia masih hidup." Yuriko mengatakannya seolah melamun. Aku menatapnya penasaran. "Perempuan itu, masih hidup." Ulangnya.

"Yuri-Chan." Aku mengulurkan tangan, berniat membelai kepalanya. Tapi Yuriko menahan tanganku dan menjauhkannya dengan lembut.

Aizawa mengangkat sebelah alisnya, sepertinya karena dari balik perban di wajahnya hanya tersisa bolongan mata dan mulut serta hidup untuk bernafas, jadi aku tidak yakin. "Hanya itu yang berhasil kau temukan selama tiga hari?"

"Jangan memancingku sensei. Aku hampir melompat dari menara setelah mendengar kabar ini. Aku selalu ingin mendengar kabar baik darinya, selalu menunggu. Harusnya aku menyerah saja, tapi dia masih hidup. Aku harus melanjutkan hidup untuk membawanya kembali. Meski akan berakhir dengan kematian." Yuriko menutup matanya dengan sebelah tangan, seolah dia benar-benar lelah dengan fakta itu.

Aku dan Aizawa sama-sama kehilangan kata-kata. Selama beberapa menit kami hanya bisa terdiam dan memandang Yuriko yang masih mempertahankan posisinya. Aku semakin ingin memeluk gadis itu, membuatnya sadar bahwa dia bisa bersandar pada bahuku, karena aku adalah Ayahnya.

"Hah," Yuriko melompat berdiri dari bangkunya. "Baiklah Sensei, urusan kita sudah selesai kan? Kau sudah berhasil mengorek informasi pribadi dariku, sekarang aku harus ke kantin karena aku belum makan siang."

Ia berbicara cepat sambil melangkah ke pintu, aku berbalik ingin mengejar tetapi dadaku kembali sakit. Aku mulai terbatuk-batuk hebat dan kepulan asap putih perlahan mengepul dari tubuhku. Aku sudah mencapai batas untuk hari ini. Yuriko menghentikan gerakannya sebelum membuka pintu.

"Toshi-San," ujarnya ragu-ragu. Aku menatap punggung gadis yang terlihat sudah memikul terlalu banyak beban. "Anggap ini sebuah pertaruhan kecil. Siapakah diantara kita yang akan menyebrang lebih awal ke sana?"

"Yuriko, jangan–"

"Bagaimanapun kau menyangkalnya, ini takdir yang tidak dapat kita hindari. Ikuti saja arus waktu ini, biarkan ia menentukannya. Dan jika memang sudah saatnya, kumohon jangan pernah menghentikannya. I mean it, Toshi-San."

Setelah kata-kata tak terbantahkan itu, dia berlalu dari ruangan. Aku berlari frustasi ingin mengejarnya, tetapi dia menghilang begitu saja di lorong panjang di balik pintu itu. Aku hanya bisa berjalan kembali ke ruanganku karena keadaanku yang semakin parah. 

Blue Rose [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang