Chapter Eleven

420 68 2
                                    

All Might POV

Setelah mengajar, aku buru-buru kembali ke ruang guru. Waktu bagiku untuk mempertahankan bentuk berototku semakin berkurang. Saat sampai di ruang guru, bersamaan dengan helaan nafasku yang kelelahan, aku kembali ke bentuk kurusku.

Aku pun membiarkan diriku jatuh terduduk. Sejujurnya, kalau seorang hero boleh merasakan depresi, mungkin aku akan merasakannya. Tapi aku masih punya banyak orang yang harus aku lindungi, aku juga masih punya satu tujuan yang belum tercapai hingga saat ini.

Saat pikiranku mulai berlarian ke masa lalu, sebuah ketukan halus menyadarkanku. Aku bersiap mengumpulkan sisa tenagaku untuk menyambut siapa pun di balik pintu itu, tapi orang itu mulai berbicara dari balik pintu.

"Kau tidak perlu menunjukkan tubuh berotot," aku mengenali suara itu. "Ini aku, Toshi-san."

Aku menjauh dari pintu dan membiarkannya membukanya. Yuriko masuk dengan baju seragam biasanya. Rambut birunya tergerai dan menjulur dari kepalanya yang muncul di balik pintu. Andaikan dia menggunakan baju putih, orang-orang sudah menjerit karena wajahnya yang sudah cukup seram itu.

"Ah, Yuri-chan." Aku menggunakan panggilan kecilnya tanpa kusadari. Dia tidak bereaksi, hanya melangkah masuk dan menyiapkan teh panas.

"Aku memperhatikan pertarungannya tadi." Aku mengerti arah pembicaraannya dan mendudukkan diriku di sofa empuk. Sedangkan Yuriko yang sudah menuangkan teh ke dalam cangkir berdiri memandangi langit sore dari jendela.

"Dia anak yang cerdas. Kemampuan analisis dan pembuatan rencananya sangat baik. Aku sudah pernah bilang padamu, soal buku analisi pahlawan yang dia buat?" Aku menyeruput tehku dengan tenang.

Yuriko mendengarkanku tanpa menyela. "Dia cerdas, untuk ukuran anak seumurnya. Tapi masih harus mempelajari pengendalian kekuatannya, kalau tidak dia hanya akan jadi alat yang mematahkan seluruh tulangnya. Dia tidak akan berguna di medan pertempuran."

Kata-katanya terdengar menyakitkan, tapi memang itulah yang akan terjadi. "Aku baru pertama kali menjadi guru, tidak pernah berpikir untuk menjadi guru juga. Kau tau aku payah sekali dalam hal mengajar, aku harap dia bisa menemukan cara untuk mengatasi kekuarangannya itu."

Saat mengeluhkan itu, aku mendengar dengusan dari arah Yuriko. Dia berbalik sejenak sambil menunjukkan senyum kecil. "Karena itu aku meragukan keputusanmu untuk menjadi guru. Saat umurku 8 tahun saja aku mati-matian mengerti cara mengajarmu. Aku kasihan dengan mereka."

Hanya sesaat, meski sebentar, aku cukup senang dengan suasana yang tenang dengannya. Putriku satu-satunya, seperti biasa dengan mulut tajamnya, tapi dia mengatakan kebenaran yang pahit dari pada kebohongan yang manis. Aku menyukai gayanya itu.

"Bagaimana denganmu? Aku dengar Aizawa menyita lisensi underground heromu." Aku mengalihkan topik ke arahnya, setelah berbagai kemajuan hubungan Ayah-Anak kami.

Dia berbalik dan menyandarkan diri di jendela, memandang langit-langit. "Yah, dia tidak menyitanya, aku yang memberikannya. Karena sepertinya dia masih mengira keberadaanku di sini untuk misi panjang sebagai underground hero." Ada satu yang belum mengalami kemajuan. Yuriko masih menghindari menatapku saat berbicara.

"Yah, kau memberikan beban baru padanya. Saat nanti kau membuat masalah di dunia bawah, dia akan datang untuk menjadi penanggung jawabmu." Aku tertawa dengan jalan pikiranku sendiri. Karena aku yakin Yuriko pasti memikirkan hal itu. Dia selalu selangkah lebih dulu dari pada orang-orang.

Dia menyeringai, "kita lihat saja nanti, aku tidak tahu kapan akan berulah." Sepertinya dia sudah memikirkan banyak rencana di otaknya. Pikiran untuk menambah beban pikiran Aizawa.

Aku hanya tersenyum miris sambil mendoakan keselamatan mental dan kantong mata Aizawa satu tahun ke depan. Semoga saja dia tidak membuat masalah yang menyusahkannya. Walaupun aku yakin dia ingin membalas latihan keras dulu.

"Ngomong-ngomong," aku mengerjap heran saat pandangan Yuriko terpaku pada satu titik di jendela. "Sepertinya penerusmu sedang membicarakan sesuatu dengan si jabrik kuning berisik, dari gerakan bibirnya, sepertinya membahas quirk."

Aku langsung berdiri dan kembali ke tubuh berototku. "Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi?"

"Entahlah, pembicaraan ini mengalir begitu saja." Gumamnya, matanya seolah memandang jauh ke masa lalu. "Rasanya seperti dulu."

Aku melupakan sejenak perkataan Yuriko, meski rasanya aku akan meledak saking senangnya. Sekarang aku harus menghentikan Midorya-Shounen sebelum ia mengumbar-umbar masalah quirknya pada teman masa kecilnya.

Blue Rose [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang