23. Why?

2.6K 324 68
                                    

Akibat aku yang teramat borahae dengan kalian, jadi aku update lagi, dan takut ga sempet juga, nanti malah telat update lagi.

Akibat aku yang teramat borahae dengan kalian, jadi aku update lagi, dan takut ga sempet juga, nanti malah telat update lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hatiku terlalu kelu, akibat semua rasa yang berkecamuk di dalam benak-ku. Jeon dan perkataannya bagaikan angin lewat untukku, karena aku tidak mengerti apa yang ia katakan.

Semalam kami belum sempat berbicara sepenuhnya karena presensi Vee yang sudah selesai mengantar Kak Jey dan memasuki mobil. Membuatku dan Jeon bungkam, hingga detik ini.

Aku sudah berada di dalam kelas setelah berangkat dengan Vee—lima belas menit yang lalu. Begitu pun dengan Jeon, kelinci tengik itu sudah terduduk manis di kursinya sendiri. Namun tidak ada apapun yang terjadi, tidak ada sapaan seperti biasanya.

Seperti dejavu, kejadian beberapa minggu lalu terulang kembali—di saat kami tak saling berbicara.

Menggigit bibir dalamku, kedua manik-ku sedikit melirik tepat di mana Jeon berada, dan mendapati cowok kelinci itu tengah terdiam, kepalanya sedikit menunduk. Berlalu aku mengalihkan pandangan, menatap lurus ke depan seraya menghembuskan napas pelan.

Ada yang mengganjal.

Ada yang mengusik benak-ku.

Lagi, aku tidak menyukai keadaan ini.

Namun aku tahu, ini pilihanku. Mencoba untuk bersikap biasa dengan harapan perasaan yang dikatakan salah ini akan hilang.

Aku kira jatuh cinta itu menyenangkan. Namun, yang aku rasakan justru terlalu menyakitkan, karena perasaan ini justru menjauhkan kami.

Apa yang salah, Jeon?

Aku belum mengatakan yang sebenarnya saja sudah seperti ini, bagaimana jadinya kalau aku mengatakan bahwa aku mencintaimu.

Apa nanti kita akan benar-benar berjauhan?

Seketika aku terkesiap, karena presensi cowok berkacamata yang tiba-tiba datang menghampiri mejaku.

“Na, kau serius duduk di sini?”

Iras Woobin sedikit kikuk saat bertanya, membuatku menunduk menatap kursi yang sedang aku duduki, “Memangnya kenapa?” tanyaku.

Woobin menggaruk kepalanya, “Maaf ya, kau kan tau aku memilih duduk di depan karena penglihatanku tidak terlalu jelas kalau duduk di sana,” ucapnya. Jemari cowok itu menunjuk ke kursi tempat duduk-ku pertama kali.

Yah, aku masih bertukar tempat duduk di kursi Woobin sejak kemarin.

Pun aku mengangguk, mengerti dengan perkataannya. Lantas aku meraih tasku dan mulai beranjak untuk pindah ke kursi semula, “Terima kasih, ya.”

Setelah mendapat anggukan dari Woobin, tungkaiku menuju kursi pertamaku sembari menelan saliva akibat kerongkonganku yang mendadak mengering. Aku melangkah ragu karena kursinya hanya selisih dua meja dengan kursi yang tengah Jeon duduki.

[✔] 𝑨𝒅𝒎𝒊𝒓𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang