32. Hopeless

2K 298 129
                                    

Halo. Aku cuma mau bilangin, kalau jangan terlalu berharap sama cerita ini.

Aku sudah kasih judul -Admire-, dan kalian pasti paham maksudnya apa. Isi cerita ini mendominasi tentang suatu kekaguman seseorang. Endingnya belum tau. Tapi di saranin banget untuk tetep ngikutin, biar ga penasaran.

Tetapi jika kalian sudah berani menaiki roller coaster ini, kalian tau apa yang terjadi di akhir?

Dikit lagi mau tamat ya gak sih?╥_╥

Okey, selamat membaca.

Okey, selamat membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jeon bergeming. Dan aku memilih untuk pergi, meninggalkan keramaian itu tatkala lampu-lampu kembali menyala.

Tungkai-ku terus berjalan menerobos tamu-tamu untuk mencari tempat yang membuat keadaanku lebih baik. Mungkin pulang ke rumah adalah pilihan yang tepat.

“Na?”

Menghentikan langkahku, aku menghembuskan nafas panjang tatkala mendengar suara itu- lagi. Pun aku memilih untuk kembali berjalan, mengabaikan suara yang semakin mengusik benak.

Rungu-ku justru mendapati hentakan kaki yang terus mengikuti langkahku dari belakang, membuatku mengambil langkah cepat untuk keluar dari rumah Yuki. Namun, langkahku terhenti tatkala ada tangan lain yang menyahuti lenganku, sedikit memberi tarikan pelan yang membuatku menoleh ke arahnya.

Irasnya menyendu, dengan iris yang bergetar di iringi suara deruan nafas. Pun aku memilih diam, menunggunya berbicara lebih dulu.

“Apa maksudmu berhenti? Aku hanya meminta tiga hari, Na,” ujarnya pelan, menatapku dengan netranya yang menyayup.

Meneguk susah salivaku, aku tersenyum miris, perlahan melepaskan sahutan tangannya pada lenganku. “Untuk memastikan akan keyakinanmu dengan perasaan ini?” tanyaku. Lantas melanjutkan, “Jawabannya sudah jelas, selama ini kau tidak yakin.”

Jeon melipat bibirnya ke dalam, pun ia kembali bergeming, menjatuhkan pandangannya ke jalanan.

“Lupakan Jeon! Aku tak apa,” lanjutku kembali tersenyum pilu, mencoba menahan rasa sesak yang menyapa relung, kendati pelupuk mata ini sudah menggenangkan air.

“Kenapa, kenapa kau berkata seperti itu? Apa mudah untukmu melupakan semuanya?”

Astaga! Jeon ini ingin di apakan? Kenapa bertanya seperti itu? Tentu saja sulit, namun memang harus di lakukan.

Membuang pandangan ke sembarang arah, aku menarik nafas panjang guna mendapat ketenangan. Jeon yang tidak peka atau memang wataknya yang menyebalkan?

“Itu lebih baik, Jeon. Untukmu dan juga untuk-ku,” sahutku akhirnya, melayangkan tangan kananku di sisi bahunya.

Kembali Jeon terdiam, hal tersebut lantas membuatku membalikkan tubuh untuk kembali berjalan meninggalkan tempat tersebut.

“Tapi aku mencintaimu ...”

[✔] 𝑨𝒅𝒎𝒊𝒓𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang