28. Damn bouquet

2.1K 305 82
                                    


Ada yang nungguin?

Langsung aja baca, kritik/saran di persilahkan sekali, saiang.

Langsung aja baca, kritik/saran di persilahkan sekali, saiang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melepas perlahan pagutannya, memutuskan benang-benang saliva. Aku membuka pelupuk mataku perlahan, merasakan degup jantung yang kian berdetak tak karuan tatkala iras Jeon masih belum mengikis jarak dengan wajahku.

Kedua manik kami bertemu, namun aku lekas mengalihkan pandanganku ke bawah tatkala tangan Jeon terulur menuju wajahku. Kembali memejam, aku merasakan sebuah tangan menyapu permukaan bibirku. Hanya beberapa sekon, tangan itu berpindah menyentuh dagu-ku, mengangkat perlahan namun justru membuatku memejam erat.

“Na, buka matamu!” aksen rendah terkesan serak terdengar dari belah bibir Jeon, membuatku meneguk susah saliva-ku.

Aku lekas menggeleng cepat, enggan mengikuti perintahnya tatkala detak jantung ini belum normal, “Ah, tidak mau, aku malu!” kata itu secara refleks keluar dari bibirku, selaras dengan perasaanku yang memang tak karuan. Pipiku memanas saat ini.

Benar-benar rasanya ingin mati.

Agaknya perkataanku membuat Jeon tertawa, namun berhasil menjauhkan tangannya dari wajahku. Aku melihatnya dari balik celah mataku, wajahnya masih belum mengikis jarak, berakhir aku memberanikan diri menatapnya yang masih tertawa itu.

“Tidak lucu, bodoh!” hadrik-ku seraya melayangkan cubitan gemas di perutnya. Pun perlahan tawa Jeon mereda, berganti ulasan senyum tipis dengan tatapan teduhnya.

“Aku, aku—”

Perkataan Jeon belum sepenuhnya terucap, berhenti tatkala pintu rooftop itu terbuka dan menampilkan wanita yang tengah menatap kami dengan gelengan kepalanya. Lantas membuatku beranjak dan terkekeh kikuk ke arahnya.

“Astaga anak ini! Mama bilang tunggu di ruang makan, kenapa di sini?” mama Jeon meletakkan satu tangannya di sisi pinggulnya, menatap Jeon yang perlahan mengubah posisinya untuk duduk.

“Mama mengganggu saja, sungguh!” lirih Jeon yang tengah menggaruk pelipisnya itu, berujar santai tanpa memperdulikan ekspresi sang mama yang terkejut.

Aku lekas menatap Jeon cepat, netraku membulat dengan tatapan tidak setuju atas perkataannya barusan. Benar-benar kelinci tengik!

Sang mama bertolak pinggang, justru membuat Jeon terkekeh, berlalu ia beranjak seraya merapihkan kemeja putihnya, “Bercanda!” guraunya.

Pun susunan gigi kelincinya sudah terlihat, membuat raut wajah sang mama berubah gemas dengan putra bungsunya itu.

“Ayo cepat ke bawah, kita makan dulu!” titah Mama Jeon, berlalu kedua maniknya menatap ke arahku. Lantas aku mengangguk dan mencoba beranjak untuk berdiri.

Tangan Jeon terulur untuk membantuku beranjak, membuatku meraih uluran tangan ini dan segera melangkahkan kaki.

Hari itu kami merayakannya di rumah Jeon dengan makan malam, dan berakhir di rumahku dengan acara barbequ yang di fasilitasi oleh Vee.

[✔] 𝑨𝒅𝒎𝒊𝒓𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang