Dilema

14.8K 740 19
                                    

Terimakasih sudah berkunjung dan membaca. Selamat membaca!

Jangan lupa vote dan comment ya....

-

- Jumat, 15 Januari 2016 -

Pagi ini kak Ferdi sudah bertengger di depan rumahku. Aku segera bergegas keluar, takut ayah dan ibu meledekku.

"Pagi!" Kak Ferdi menyapaku dengan senyumnya yang lebar. Pagi ini kak Ferdi nampak berbeda, dia memakai pakaian seperti pramugara. Eh, tapi dia emang pramugara sih.

"Ah, pagi kak." Jantungku berdebar membalas sapaan kak Ferdi.

"Aku antarin ke sekolah ya?" tawar kak Ferdi.

"Nggak kak, nggak usah. Aku jalan kaki aja. Kakak mau berangkat kerja kan? Kakak pergi kerja aja."

"Kalau gitu, aku temani kamu jalan kaki."

"Eh, nggak usah kak."

"Plis, Kaila. Kakak bakal lama kalau balek lagi, bisa jadi seminggu atau dua minggu. Kakak cuma antarin aja kok."

"Oh, gitu ya kak. Yaudah deh." Aku mulai berjalan menuju ke sekolah dan kak Ferdi mengikuti disebelahku.

"Kaila, kalau kakak kangen, kakak boleh ya video call."

Tiba-tiba kak Ferdi bertanya seperti ini. Ini membuat jantungku berdebar lebih keras.

"Terserah kak. Kalau aku bisa angkat video call kakak." Ujarku dengan suara pelan dan lembut.

"Lembut banget, aku jadi makin cinta." Kak Ferdi tersenyum senang memandangku.

Aku langsung memalingkan wajahku. Aku tak ingin melihat wajahnya. Bisa meledak jantungku.

Sesampai di sekolah, aku pamit dan masuk ke dalam. Kak Ferdi pergi dengan senyumnya yang belum pudar.

Ah, tiba-tiba aku sedih, sepertinya aku nggak akan menemuinya dalam waktu lama.

-

Jam istirahat berbunyi. Aku, Jovita dan Bryan sedang menyantap makanan kami.

"Vit, kemarin sore aku lewat sekolah. Kuliat kamu masih di depan sekolah, ngapain sore-sore di sekolah?"

Aku teringat kemarin sewaktu diantar pulang oleh Kak Ferdi, Jovita masih ada di depan gerbang sekolah. Padahal sekolah udah mulai sepi.

Hanya anak ekskul yang ada. Anak kelas 12 semester 2 sudah tidak diwajibkan untuk ikut ekskul.

"Oh, gue emang biasa dijemput jam segitu."

"Biasa? Seingatku waktu kelas 2, kamu sering dijemput tepat waktu sama ayahmu."

"Iya, bukannya bokap lu selalu jemput lu?" sahut Bryan.

"Udah nggak lagi. Bokap gue terus sibuk."

"Kalau gitu, kamu nunggu di rumahku aja gimana? Ngapain nungguin di sekolah sampai sore-sore." tawarku.

"Nggak usah deh la. Nanti bokap gue repot cari letak rumah lu. Habis itu nanti kena marah aku, la karena nggak tunggu ditempat." curhat Jovita.

"Gimana kalau gue antar lu pulang vit? Lagian rumah kita sejalan kok." tawar Bryan.

Jovita mengernyit bingung. "Tau dari mana lu rumah gue?"

Bryan kaget, terdiam sebentar lalu menjawab Jovita. "Gue kebetulan pernah liat lu di depan rumah lu."

Aku dan Jovita ber-oh ria.

"Iya vit, mending lu diantar Bryan. Daripada sampe sore di sekolah." sahutku.

Jovita tampak menimbang tawaran dari Bryan. "Oke deh, boleh. Sorry gue ngerepotin."

"Emang kapan lu nggak pernah repotin gue? Hahaha.." Bryan bergurau pada Jovita.

Bryan mengacak rambut Jovita dan Jovita cemberut kesal tidak melawan.

"Gue pergi dulu ya, mau toilet." Bryan pergi meninggalkan kami.

Aku kembali termenung memikirkan kak Ferdi dan lamarannya.

"Sorry ya la. Gue tau kalian pedekate tapi Bryan udah antar gue gitu." Jovita menampakkan rautnya yang bersalah.

"Nggakpapa kali vit. Bryan kan bukan pacarku."

"Serius la? Gue bisa nolak kok. Lu termenung gitu. Jujur aja la."

"Bukan itu yang kupikirkan vit."

"Lalu apa?"

"Kak Ferdi... Dia... lamar aku." Aku memberitahu Jovita dengan nafas yang tercekat secara tiba-tiba. Kalimat ini terasa susah diucapkan.

Jovita menampakkan raut kagetnya. Matanya membulat sempurna dan dia menutup mulutnya.

"Serius lu? Terus terus?" Tiba-tiba Jovita mengecilkan suaranya seperti takut ada yang mendengar.

"Aku nggak tau vit. Aku disuruh mikir dulu." Aku menghela nafas. Ini berat. Aku nggak kuat.

-

Jangan lupa vote dan comment ya....

Terimakasih dan stay tune :)

This is Love Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang