Sarapan

13.3K 699 16
                                    

Hai guys!

Maafkan author tidak update kemarin 🙏🙏🙏 Sesuai janji, author bakal up 1 part lagi.

Terimakasih sudah berkunjung dan membaca. Selamat membaca!

Jangan lupa vote dan comment ya....

-

- Senin, 15 Februari 2016 -

Alarm berbunyi. Aku segera bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Aku mendengar suara obrolan dari luar. Tumben ayah dan ibu ngobrol pagi-pagi. Suara obrolan itu terdengar terus menerus.

Biasanya, ayah dan ibu jarang mengobrol. Mereka mungkin lebih sering mengobrol di malam hari saat dikamar.

Aku segera membuka kan pintu kamarku karena sudah waktunya.

"Lama sekali kamu nak, sudah ditunggu Ferdi loh."

Deg.

Aku langsung melihat ke sumber suara. Melihat sekeliling dan disana ada Kak Ferdi yang sedang sarapan bersama orang tuaku.

Jantungku berdetak dan berjalan duduk di sebelah Kak Ferdi.

"Kakak kenapa disini?"

"Tentu saja mengantarmu ke sekolah."

Aku akhirnya ber-oh ria dan mulai sarapan.

"Jadi kalian sudah lebih ke jenjang serius belum?" Ayah tiba-tiba bertanya.

Aku langsung tersedak minum. Kenapa ayah harus bertanya saat aku lagi minum?

Kak Ferdi menepuk punggungku. "Hati-hati minumnya."

"Iya kak. Udah." Aku menghentikan tepukkannya.

"Kaila belum menjawab om tapi saya akan pastikan segera." Kak Ferdi menjawab pertanyaan ayah.

"Wah, kamu sudah lamar anak saya? Kaila, jangan php-in anak orang dong! Sakit tau rasanya."

Ayah menasehatiku dengan nada bercanda.

Ayah, bukan aku mau php-in tapi Kak Ferdi minta tunda jawaban. Aku mau aja jawab langsung kok tanpa nunda.

"Kalau om tante mengijinkan, pesta pernikahannya ditetapkan tanggal 7 April om. Saya sudah menyiapkan semuanya om."

Kali ini, untunglah aku tidak tersedak tapi terkejut setengah mati.

"Bagus. Lebih cepat lebih baik. Kaila juga ingin bekerja langsung. Tapi dari pada dia bekerja, bagusnya dia menikah saja." Ayah menyetujui. Ibu juga tersenyum senang.

Aku semakin melotot tidak percaya. Semuanya serba tiba-tiba.

"Itu kalau Kaila menyetujui lamaran saya om."

Aku semakin terdiam. Aku akui aku ingin menerima lamaran Kak Ferdi tetapi entah mengapa aku ragu.

Padahal tidak ada yang salah. Menikah nanti atau sekarang, tidak ada bedanya. Hanya saja ini terasa cepat.

"Kaila, Ferdi sudah sangat serius padamu. Ibu tau ini terasa cepat, tapi lelaki seperti Ferdi susah dicari."

Aku hanya diam. Tidak berani jawab saat ini.

Aku setuju dan menerima Kak Ferdi tapi soal pernikahan, aku merasa belum siap.

"Ayah, Ibu. Aku berangkat ya." Aku meninggalkan sarapanku yang sudah habis.

"Om tante, saya permisi antar Kaila." Kak Ferdi segera menyusulku.

"Hati-hati ya." saut ibu.

Aku berjalan cepat meninggalkan Kak Ferdi. Kak Ferdi berusaha mengejarku hingga berada disampingku.

"Kaila, kamu marah?"

Aku mengernyit bingung. "Nggak kok kak."

Kenapa aku harus marah dengan lamaran tulus dari Kak Ferdi? Aku hanya bimbang saja. Aku seperti ingin lari sebentar.

"Maaf aku terkesan buru-buru. Tapi aku butuh seseorang disampingku yang selalu menemaniku. Jadi, aku punya alasan kenapa aku berada disini."

"Maksud kakak?"

"Aku berencana tidak akan pulang lagi. Mungkin aku akan tinggal dimanapun pesawat mendarat. Seperti hidup berpindah-pindah."

Aku terdiam. Apa artinya Kak Ferdi akan pergi selamanya tanpa kembali ke sini lagi?

"Aku juga tidak tau kapan aku bisa disini. Tapi jika ada kamu yang menungguku, aku akan senang hati selalu pulang. Kamu menjadi tempat pulangku, Kaila."

Aku berhenti dan menatap Kak Ferdi. Kak Ferdi pun ikut berhenti.

"Sejak ibuku tiada, aku sudah tidak memiliki tempat untuk pulang."

Ah, ibu Kak Ferdi. Aku penyebab Kak Ferdi kehilangan tempat untuk pulang.

"Aku tidak memaksamu. Kamu bisa tunda jawabannya hingga kencan ketujuh kita. Tetapi jika jawabanmu sudah iya. Segera katakan jawabanmu."

"Aku tidak menerima penolakan sebelum kencan ketujuh kita." sambung Kak Ferdi.

Kencan ketujuh? Itu hanya alasan untuk memperlama waktuku bersamamu. Aku ingin kamu menikah denganku, Kaila. Batin Kak Ferdi.

"Baik kak. Aku akan memikirkannya."

Aku kembali berjalan ke sekolah. Kini hatiku semakin bimbang. Ada rasa sedih yang mendalam mendengar penuturan jujur dari Kak Ferdi tadi.

Apakah aku harus menerima lamarannya?

Aku kembali teringat kejadian kemarin. Kak Ferdi sakit, tetapi tidak ada yang memerhatikan dan mengurusnya.

Kini hatiku mulai yakin untuk menerima lamaran Kak Ferdi.

-

Jangan lupa vote dan comment ya....

Terimakasih dan stay tune :)

This is Love Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang