“Van, besok yang dateng ke meeting kamu aja ya? Saya diminta ibunya Lisa cari bahan buat acara lamaran.”
“Hmm.”
“Sekalian nanti bilangin soal yang waktu itu kita omongin sama anak-anak. Mungkin mereka gak ngerti, tapi ya kamu paham lah harus ngomong apa.”
“Hm.” Evan masih sibuk mengotret-ngotret sesuatu di kertas kosong, membuat konsep mentah yang tiba-tiba muncul di pikirannya. “Emang rencananya Lisa mau lamaran kapan Mas?”
“Gak tau, akhir bulan ini kali. Kalo nikahnya, maunya sih sebelum akhir tahun.”
“Ooh” Evan mengangguk, menarik punggung untuk bersandar pada kursinya. Matanya mendelik Surya yang duduk di sofa di ruangannya, sedang membaca berkas-berkas yang baru ia print. “Pacar kamu gak minta dinikahin juga Mas?” cengir Evan tiba-tiba.
Buat Surya yang meliriknya cuma memutar bola mata, “Udah umur segini mau nikah ya aneh, Van.”
“Aneh kenapa? Gak ada salahnya kan?”
“Ya gak ada, tapi saya udah keburu gak minat sama nikah. Mikirin studio aja udah pusing, ini mau nikah, yang nantinya mikirin rumah tangga, terus punya anak, anaknya sakit, anak masuk sekolah, macem-macem, makin banyak aja yang saya pikirin.”
Evan terkekeh pelan, “Kamu nih kayak gini karena kelamaan di Jepang Mas. Budaya giat kerja sama gak mau nikahnya jadi nempel.”
“Bukannya jadi nempel Van, tapi ya emang bener. Kalo nikah tuh gak menjamin semusnya jadi serba lancar, nikah tuh bukan jawaban dari semuanya, bukan solusi. Setelah nikah pasti ada masalah. Udahlah, saya nih cocokmnya cuma ngurusin studio, bukan yang lain.”
“Terserah Mas.”
Gantian Surya yang cekikikan, ia lihat Evan sudah memasang ekspresi malas, kembali kada kotretan konsepnya. Pun Surya juga tidak membalas, ia sendiri enggan bertanya perihal kisah asmara Evan. Surya kenal Evan teramat dalam, ia tau Evan tidak suka orang lain membahasa tentang pribadinya, termasuk asmaranya.
Mendekati jam empat, Surya kembali ke ruangannya saat menerima telpon, tidak lama pun ia langsung pulang, padahal baru jam empat lewat sepuluh. Tepat jam lima, Evan juga menyusul. Waktu di lift ia berbarengan dengan pegawainya. Mereka asik mengobrol ini-itu, Evan hanya memperhatikan. Sampai di lobi, mereka langsung terpisah-pisah, banyak orang yang juga sudah siap meninggalkan studio.
“Fi, mau bareng gak?”
“Nggak usah Mas Eldy, aku nanti dijemput.”
“Mumpung gue bawa mobil nih. Yuk.” Tawar Eldy lagi, tapi Alfi juga hanya menolak.
Evan hanya mendelik, tim animator itu masih sedikit bercakap-cakap di depan pintu lobi, Evan sendiri sudah melenggang ke parkiran menuju mobilnya. Ia harus cepat pulang atau malam ini ia akan kena protes lagi.
Soal Alfi, sebenarnya ia agak khawatir, tapi mendengar Alfi akan dijemput, ia jadi lebih lega. Pagi tadi Alfi bilang, ia diantar suami temannya, kemungkinan besar sore ini pun begitu. Lagipula, meski Evan yakin kalau cepat atau lembat kekasih Alfi akan tau Alfi sudah kembali bekerja, untuk sore ini, rasanya tidak mungkin Teguh bisa tau secepat itu.
Evan bisa pulang dengan tenang, sepanjang jalan pun ia mendengarkan lagu-lagu klasik lagi. Tepat waktu ia menginjak rem di lampu merah, matanya mendelik, handphone di dashboard mobilnya berdering kencang.
“Iya?” jawab Evan sekenanya, tanpa perlu mengambil handphone karena sudah terhubung dengan speaker mobil.
“Dimana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Secret Way (BL 18+) [COMPLETE]
RomanceAlfi lulusan desain grafis sedangkan Evan wakil direktur di studio game tempat Alfi melamar kerja. Ini cerita tentang kehidupan Alfi yang beradaptasi dengan status barunya sebagai animator game dan Evan yang harus terlibat langsung dengan berbagai m...