Matanya mengerjap, berat, Alfi rasa agak sembab. Ia berusaha bangkit meski badannya terasa ngilu, tulang-tulangnya seperti remuk. Tapi Alfi harus bangun. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi tanganya di atas paha tak berbusana. Ada bekas jeratan tali melingkar di kedua pergelangan tangan Alfi, pun di kaki-kaki Alfi. Bercak memar juga tersebar di paha Alfi. Matanya terasa panas, ingin menangis lagi, tapi Alfi tidak bisa.
“Yaang?”
“Eh?” Alfi tersentak kaget, cepat ia menarik selimut menutupi tubuhnya sendiri, pandangannya awas, banyak takutnya.
Tapi kekasih Alfi ini terus melangkah mendekat, duduk di samping Alfi yang makin ketakutan, ditatapnya mata Alfi dalam-dalam. “Maaf, Yaang.” Katanya pelan, meraih tangan Alfi dan menganggamnya erat, dibawa ke depan wajah, diciumi. “Aku.. aku gak sadar, maksud aku.. aku lagi pusing banget sama kerjaan aku Yaang, begitu liat kamu kemren, rasanya aku jadi cemburu banget, aku kesel sendiri, aku malah jadi... nyakitin kamu. Aku keterlaluan. Maafin aku Yaang. Aku janji gak akan ngulangin lagi, Aku janji, maafkin aku.”
Air mata Alfi benar-benar jatuh kali ini, ia menarik tangannya yang digenggam kekasihnya. “S-sakit, Yaang.”
“Aku minta maaf, aku nyesel. Maaf Yaang.”
“Sakit...” Alfi merintih lagi, airmatanya makin banjir.
Melihatnya, kekasih Alfi lekas memeluk, membuat Alfi makin-makin kuat menangis. “Maaf Yaang, maafin aku. Maafin aku.” Peluknya makin erat, berkali-kali kepala Alfi diciumi, tanda maaf, atau menyesal. “Jangan tinggalin aku Yaang, aku cuma punya kamu. Aku minta maaf, aku khilaf. Aku minta maaf, jangan tinggalin aku. Aku mohon, Yaang. Maafin aku.”
Kali ini, Alfi sama sekali tidak menjawab, malah makin menangis, memeluk kekasihnya erat-erat. Ketakutan. Alfi takut dengan kekasihnya, tapi entah, pagi ini ia malah memeluki kekasihnya sangat erta. Alfi takut, mungkin dengan perlakuan kekasihnya semalam, bukan pada kekasihnya.
Pagi itu akhirnya, Alfi membuat matanya semakin sembab. Tidak banyak bicara, yang selalu terngiang hanya penyesalan kekasihnya. Alfi takut, tapi entah takut akan apa.
• • •
“Kalo udah mau pulang, kabarin aku ya?”
Alfi mengangguk, seraya melepas sabuk pengaman dan sekali lagi membenarkan pakaian turtlenecknya.
“Yaang.” Panggilnya pelan, lalu mengelus pipi Alfi lembut, membuat Alfi ikut menoleh, memperlihatkan matanya yang masih merah dan sembab. “Maaf.”
“Uhm..” Alfi mengangguk lagi, “Mungkin workshopnya sampe jam lima. Nanti aku kabarin Mas Teguh kalo aku udah bisa pulang.”
“Oke.”
“Aku turun dulu.” Cepat-cepat Alfi turun dari mobil, langsung berlari memasuki gedung tempat workshop Animasi berlangsung. Ia sama sekali tidak menoleh untuk melambai atau mengumbar senyum seperti biasanya. Alfi hanya terus berlali, menjauh, membuat jantungnya semakin bergemuruh.
Di dalam lift menuju lantai tujuh, Alfi hanya menggenggami handphoennya. Seniornya sudah sampai di booth semua, mungkin ia yang paling telat, entah ia akan mengatakan apa nanti pada rekan satu timnya begitu melihat mata Alfi yang sembab, karena Alfi tidak mungkin menceritakan kejadian semalam.
Dari jauh Alfi lihat di booth-nya ada Surya. Sekali lagi Alfi membenarkan turtleneck dan pergelangan tangannya, sebelum akhirnya ia mengumbar senyum menyapa rekan kerjanya.
“Yee bocah, dateng-dateng matanya sembab. Abis ngapain? Nonton film?”
Alfi cekikikan, “Iya nih Mas, aku semalem nonton drakor, sedih banget masa. Sampe gak berhenti nangis.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Secret Way (BL 18+) [COMPLETE]
RomansaAlfi lulusan desain grafis sedangkan Evan wakil direktur di studio game tempat Alfi melamar kerja. Ini cerita tentang kehidupan Alfi yang beradaptasi dengan status barunya sebagai animator game dan Evan yang harus terlibat langsung dengan berbagai m...