♪ ♬ 07 ♬ ♪

4.6K 449 24
                                    

Dua minuman terhidang di atas meja. Matanya mendelik mengikuti pelayan yang baru saja keluar dari ruang privat di restoran tersebut. Pandangannya dialihkan lagi, pria di depannya ini masih menunduk, bahkan tidak ada sepatah kata pun yang keluar sejak Evan menariknya masuk ke mobil.

“Kemana aja selama ini?” Evan buka suara, sekaligus membuka percakapan malam ini, tapi yang ditanya hanya diam, menunduk makin dalam. “Gak masuk kerena ini?”

Alfi mengangguk kaku, ragu.

“Kenapa gak ngasih kabar? Seenggaknya kamu bisa ijin kamu sakit atau malah ambil cuti.”

“K-kalo ijin sakit, harus pake surat dokter kan..?”

“Iya, tapi bisa nyusul. Kamu juga kata yang lain sama sekali gak bisa dihubungin.”

“Maaf.”

“Kalo pun kamu mau berhenti, kamu bisa bilang.”

“Nggak.” Alfi menggeleng, suaranya berat, “M-masih mau kerja.”

“Ya kalo gitu kasih kabar. Saya sama Surya siap ngeluarin kamu kalo sampe hari Senin nanti kamu gak ada kabar.”

“Maaf.. Pak.”

Napas Evan ditarik dalam. Ia mengambil minuman berwarna merah dengan banyak es di dalamnya. Menegak kasar dan terburu-buru. Rasa semangka lekas memenuhi seisi mulutnya. Sekali lagi napasnya ditarik dalam, “Kamu kenapa?” dan yang kali ini, nada suaranya lebih pelan dari sebelumnya. “Saya udah kasih kartu nama itu, gak dipake?”

Alfi menggeleng.

“Kenapa? Karena takut? Terus mau sampe kapan?”

“Gak.. tau.”

“Dany bilang kamu bukan asli orang sini, alamat yang masuk masukin ke CV dulu juga alamat orangtua kamu di kota asal kamu. Jadi saya rasa, yang ngelakuin ini bukan keluarga kamu. Bener?” waktu ditanya begitu, Alfi masih diam, sampai Evan memanggil namanya, Alfi baru mengangguk. “Siapa? Pacar kamu?”

DEG

Mata Alfi melebar lagi. Kerongkongannya terasa seperti tercekat keras. Untuk mengeluarkan suara sedikti saja rasanya sangat sakit. Mendengar kata pacar buat jantung Alfi berdebar kencang, ditambah, dengan tebakan Evan yang sangat tepat.

“Mungkin ini tiba-tiba, saya juga bukan siapa-siapa, tapi kamu bisa cerita.”

“S-saya gak bisa.”

“Kenapa?”

“C-cuma... gak bisa.”

“Hm.” Evan mengangguk, lelu menegak lagi minumannya. “Selama ini kamu tinggal dimana? Kamu gak ngekos kan?”

Kepalanya menggeleng pelan, “T-tinggal di rumah temen.”

“Temen?”

“I-iya.. S-saya pergi dari rumah terus tinggal di rumah temen. Saya gak bisa masuk karena... begini. HP, pentab, sama yang lainnya juga ada di rumah.”

“Rumah pacar kamu?”

Alfi menangguk ragu, “I-iya.”

"Tanda merah di leher kamu waktu interview itu juga dari dia? Berarti tanda merah yang saya liat di workshop waktu itu juga dari dia? Iya?”

“I-iya.”

“Emang kamu ngelakuin apa sampe kamu bisa begini?”

Yang ini Alfi menggeleng, Alfi sendiri bingung bukan main. Hampir dua tahun hubungannya selalu baik-baik saja dengan Teguh, tapi begitu masuk kerja, rasanya Teguh jadi lebih possesif, mudah emosi, bahkan tidak segan melayangkan tamparan keras untuk Alfi.

Our Secret Way (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang