♪ ♬ 18 ♬ ♪

4.3K 439 47
                                    

Baru Evan keluar dari kamar mandi, di meja makan sudah terhidang pizza dan pasta beserta minumannya. Senyumnya agak mengembang, lebih ke arah menyeringai. Tidak habis pikir, kakaknya, jauh-jauh dari Australia sampai di sini malah memesan makanan yang dibeli di sana pun bisa. Memang darah bule pada kakaknya lebih kental dibanding Evan sendiri.

“Ndre, nanti aku pergi.”

“Malem-malem begini? Pacaran?”

“Hm.” Evan hanya menyahuti pelan, lalu ikut duduk di meja makan. Kali ini senyumannya jadi lebih lebar, ia melihat pasta di meja makan, seketika teringat Alfi. Setahun lebih saling kenal dan akhirnya menjadi kekasih, Alfi sudah hapal apa yang akan disepan Evan saat mereka pergi makan. Seperti pasta di depannya, itu kesukaan Evan.

“Tadi ada yang dateng, nganter ini.”

“Hm?”

“Katanya kamu nitip, dia kasih ke aku, terus pergi. Waktu aku tanya dari siapa, dianya jalan terus, Kayaknya gak denger. Abis dia buru-buru gitu.”

Evan diam, ia baru mau menyuap satu gigitan pizza, tapi harus terhenti karena mendengar cerita kakaknya sendiri. “Nganter?”

“Hm.” Angguknya pasti, “Kayaknya dia animator baru itu deh. Apa bukan ya? Aku inget kalo Eldy sama yang lainnya, Mas Surya juga pernah cerita tentang animator baru yang katanya pinter ngomong pas meeting itu. Aku pernah ditunjukin fotonya, tapi aku lupa. Tapi.. ya mirip sih. Atau bukan ya? Orangnya kecil? Maksud aku dia lebih mungil dari Eldy sama yang lainnya.”

Sukses Evan meneguk liurnya sendiri dengan susah payah. Pizza di tangannya ia simpan lagi, bangkit cepat-cepat kembali ke kamarnya, mengambil handphone dan langsung menelpon Alfi.

Panggilan pertama, direject, kedua dan ketiga pun sama, panggilan selanjutnya, handphone Alfi sudah tidak bisa dihubungi lagi. Tidak aktif. Evan panik, Alfi salah paham, pasti kekasihnya itu sudah mikir macam-macam. Evan hanya mengenakan jaket varsiti saat meninggalkan apartemen tanpa pamit. Tujuannya kosab Alfi, tapi begitu sampai, ibu kosnya bilang Alfi belum pulang, memang tadi ijinnya akan menginap di rumah teman.

Evan coba menghubungi Alfi lagi, tapi nihil, hasilnya masih sama. Mobilnya sudah melaju lagi ke jalan besar, tujuannya rumah Dini, teman Alfi yang rasa saudara itu. Waktu sampai, rumah Dini gelap, tidak ada lampu yang menyala. Padahal sedang tidak padam listrik, tapi hanya rumah Dini yang gelap. Evan yakin, Alfi tidak pergi kesana, dan entah kemana.

Menghubungi Alfi tanpa pernah merasa lelah, bahkan rasanya sudah lebih dari seratus chat Evan kirim, menjelaskan, dan minta bertemu, tapi hasilnya selalu sama. Evan sudah benar-benar dicampakan Alfi. Salahnya. Atau bukan? Semuanya hanya salah paham. Alfi pasti berpikir kakaknya tadi itu kekasih Evan, terlebih, mengingat pakaian kakaknya. Pasti kacau.

Malam itu Evan tidak tidur dengan tenang. Besoknya juga Alfi sama sekali tidak bisa dihubungi. Evan dapat jadwal keberangkatan Alfi dari Dany, karena memang segala tentang pekerjaan para animator dikirim pada Evan. Tapi rasanya aneh kalau tiba-tiba Evan datang ke bandara, menghampiri Alfi hanya untuk menjelaskan kesalahpahaman kekasihnya. Alfi tidak pergi sendiri, ada Aga, dan hubungan mereka sangat ditutupi.

Evan ingin menyerah, menunggu Alfi pulang baru ia akan menjelaskan semuanya. Tapi Evan juga tidak tenang. Dulu saat tau Alfi mengalami kekerasan dari mantannya, Evan merasa iba, hanya sekadar iba, karena waktu itu Evan sama sekali belum merasakan apa-apa. Tapi kini Alfi sudah jadi kekasihnya, bayangan Alfi yang menangis selalu menghantui Evan.

“Seminarnya Pak Ridwan tuh berapa hari Mas?”

“Cuma dua hari, sampe besok. Tapi katanya Ridwan mau ngajak jalan-jalan sekalian, yaudah saya genapin jadi empat hari.”

Our Secret Way (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang