♪ ♬ 25 ♬ ♪

7.1K 477 88
                                    

Evan menepati janjinya. Ia datang ke apartemen Alfi saat yang lainnya sudah berangkat ke studio. Masih pagi, sekitar jam sembilan. Evan hanya sekadar pakai kaos abu-abu bergaris vertikal dan jaket kulit hitam, memang rencananya hari ini ia tidak ke studio, tidak ada hal penting, lagi pula untuk projekan belakangan ini semua sudah ia laporkan pada Surya.

Waktu bellnya ditekan, pintu kamar Alfi tidak segera dibuka. Evan lihat chat yang ia kirim ke Alfi juga sudah dibaca, ia bisa tau Alfi sudah bangun. Tapi sekiranya lima menit Evan harus berdiri bersandar pada dinding di samping pintu kamar Alfi.

Sejenak Evan memperhatikan Alfi, tidak langsung masuk. Kekasihnya itu terlihat baik-baik saja, sudah tidak terlihat lesu atau lemas, wajahnya juga tidak pucat. Yang paling bisa Evan tangkap adalah aroma sabun dan sampo Alfi yang masih melekat. Jelas Alfi baru selesai mandi, mungkin alasan kenapa Alfi lama mebuka pintu juga karena ia ada di kamar mandi.

Bingkisan kue yang Evan bawa untuk Alfi disimpan di atas meja, sementara Alfi melenggang ke balkon untuk menjemur handuknya. Evan masih berdiri, memperhatikan sekitar. Agak berantakan. Di meja kecil ada beberapa obat, juga sebotol mineral. Dadanya kembali terenyut. Alfi sakit, dan Evan tau itu karenanya.

"Kamu udah makan?"

Alfi melirik, Evan akhirnya buka suara. Kepalanya menangguk mengiyakan, lalu menunjuk meja dengan dagunya, memberitau Evan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mata Alfi terus mengikuti kemana Evan melangkah, lama tidak bertemu, rindu, tapi di kepalanya masih terbayang-banyang yang lain. Saat Evan memilih duduk di sofa, Alfi menyusul. Ikut duduk, bahkan tangannya langsung melesat di pinggang Evan.

"Kemana aja?" tanyanya dengan nada sedih, banyak manjanya. Bibirnya mengerucut, dan makin mengerucut saat tangan Evan mengelusi kepalanya.

"Maaf saku gak ngabairn kamu, Sayang." Senyuman Evan mengembang lebar, "Kemaren aku ada kerjaan lain di luar kota. Tadinya waktu aku nganter kamu pulang terakhir kali itu, aku mau bilang soal ini, tapi kamu masih marah, gak mau denger aku. Jadi aku gak bisa bilang."

"Kan bisa di chat, Dear."

"Kamu gak bales chat aku, Sayang. Ya udah aku pikir kamu masih marah. Aku diem bukan karena aku gak peduli kamu, tapi kerjaan kaku juga banyak, gak sempet buat chat atau nelpon kamu. Maaf."

"Dear..." pelukan Alfi makin erat, "Maafin aku.. aku kekanakan."

"Nggak kok, salah aku. Aku yang gak bisa buat kamu ngerti kan? Malah kamu sakit sampe pingsan kayak kemaren, pasti karena aku."

"Umm.. aku kepikiran kamu Dear. Aku takut putus. Aku terus kepikiran. Aku nyalah-nyalahin kamu tapi aku sendiri yang gak mau pisah sama kamu. Maafin aku, aku cemburuan. Maafin aku Dear."

"Iya, iya. Aku gak nyalahin kamu kok."

"Padahal aku tau kamu sukanya cuma sama aku. Kamu kan udah sering ngomong begitu, harusnya aku percaya sama kamu Dear, bukan malah ngambek gak jelas kayak belakangan ini. Maaf Dear. Aku nyesel." Alfi makin menduseli Evan, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Evan yang lama tidak Alfi cium. Kepalanya agak mendongak waktu Alfi merasakan Evan tidak lagi mengelusi kepalanya. "Kamu kok sabar banget sama aku sih Dear?"

"Kalo aku gak sabar, siapa lagi? Kan aku yang pacar kamu. Malah kalo aku hak begini... mungkin hubungan kita gak bakal bertahan selama ini."

"Iya ya?" matanya memutar, berpikir mengawang-ngawang. "Berarti selama ini kamu terus sabar ya Dear? Padahal aku nyebelin ya? Iya kan Dear?"

Bukannya menjawab, Evan malah tertawa cekikikan. Ia meluk Alfi erat-erat melepas rindunya juga. "Gitu dong, cerewet lagi. Kan aku jadi seneng liat kamu udah balik kayak biasanya."

Our Secret Way (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang