“Alfiii, gak kerja kamu le?”
Pagi-pagi, Alfi sudah diteriaki oleh ibu kos berdarah Jawa ini karena Alfi hanya melamun di meja makan. Akhirnya Alfi sama sekali tidak bisa tidur, memikirkan kebodohannya semalam. Ia mencium Evan begitu saja, tanpa dosa, dan sayangnya itu bukan mimpi. Alfi ingin meghilang saja.
Alfi sudah tidak memikirkan gimana kalau ia dipecat, Alfi malah sudah siap akan itu. Sekiranya memang ia dipecat, ia ingin pulang kampung saja, kembali tinggal bersama orangtuanya, terserah kerja apa, kalau berakhir mengurusi ladang keluarganya juga tidak masalah. Alfi ingin menghilang, tidak mau bertemu Evan.
Habis, setelah kejadian semalam, bagamana bisa Alfi bertemu Evan? Atasannya itu pasti ngerasa jijik dengan Alfi, belum lagi, yang Alfi lakukan semalam itu sama seperti pelecehan. Mencium tanpa persetujuan.
“Aaargh!” Alfi mengerang kencang, yang malah buat kepalanya kena geplak tampah ibu kos. “Aku bingung Buu.”
“Mandi sana, kerja, telat kamu nanti. Sana, sana, Ibu mau masak.” Dan yaa, Alfi malah diusir.
“Kayaknya aku bakal dipecat Bu.”
“Iya, tapi bayar uang kosan dulu sebelum keluar.”
“Ih aku serius.”
“Udah ah. Gak ada yang dipecat. Sana, mandi, kerja. Kalo kerjanya bener ya gak bakal dipecat. Sana.”
Alfi hanya bisa melengos, ia sudah benar-benar diusir oleh ibu kosannya. Dengan lemas, Alfi kembali ke kamar, mandi, bersiap. Sejenak ia memperhatikan dirinya di cermin, lalu ingat lagi dengan kejadian semalam. Alfi benar-benar merasa bodoh, ia sungguh ingin menghilang.
Alfi baru akan memakai sepatu tapi sudah kena teriakan ibu kosannya lagi. Katanya Alfi akan semakin telat. Entah, rasanya hari ini Alfi jadi sering kena teriakan dari ibu kosannya, padahal masih pagi. Yaa meski teriakan ibu kosnya bukan teriakan yang gimana, malah seperti penyemangat. Tapi tetap saja, kejadian semalam itu tidak bisa Alfi hilangkan dari ingatanya.
Tangan ibu kosanya disalimi lembut, rambut Alfi juga diusap. Alfi pamit, senyum ibu kosannya mengiringi Alfi. Alfi hanya bisa balas tersenyum. Ia tetap harus ke studio meski lemas, meski tidak semangat, meski kebodohannya sudah kuadrat dan masih melekat di diri Alfi, sekali lagi, Alfi ingin menghilang.
Tapi orang yang buat Alfi ingin menghilang malah muncul di depan mata. Siap duduk di kursi pengemudi, membuka jendela dan menyuruh Alfi masuk. Rasanya Alfi ingin melengos saja naik angkot, tapi tidak bisa, kalau Alfi menghindar, berarti ia sedang menghindari masalah yang ia buat sendiri.
Alfi duduk, mengenakan sabuk pengaman, dan mobil melaju ke jalan besar.
Sama sekali tidak ada obrolan atau apa, Alfi diam, Evan juga diam. Hanya terdengar alunan musik klasik di sepanjang jalan. Bahkan, mereka saling diam sampai mereka tiba di studio. Waktu terbuang begitu saja, padahal harusnya Alfi bisa sekadar minta maaf atau yaa, pokoknya menejelaskan kejadian semalam.
“Pulangnya tunggu dulu kayak biasa, nanti dianter.”
“Pak.”
“Hm?”
“Kan udah aku bilang, jangan terus-terusan muncul. Jangan terlalu baik, aku malah jadi berharap.”
“Oh? Salah?”
“Ya salah! Aku suka sama Pak Evan tapi Pak Evan malah begini. Malah buat aku makin-makin berharap. Pak Evan tau aku gay tapi malah ngasih celah. Salah Pak!”
“Sebentar, kita belum pacaran?”
“Ha?!” Alfi melongok, matanya membulat lebar.
“Semalem kamu bilang kamu suka kan? Kalo udah begitu, bukannya harusnya kita udah pacaran?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Secret Way (BL 18+) [COMPLETE]
Любовные романыAlfi lulusan desain grafis sedangkan Evan wakil direktur di studio game tempat Alfi melamar kerja. Ini cerita tentang kehidupan Alfi yang beradaptasi dengan status barunya sebagai animator game dan Evan yang harus terlibat langsung dengan berbagai m...