10. Ucun, Kara dan Raga

41 7 0
                                    

Chapter Sepuluh : Ucun, Kara dan Raga

“Persahabatan itu bagai kepompong, kadang kepo kadang rempong. Kadang ember juga, sih.”

Happy Reading!

***

Capek. Dia merasa beban hidupnya di penghujung semester genap ini bertambah. Dia harus memperbaiki beberapa kostum lagi untuk pentas teater yang akan diselenggarakan besok sebagai syarat kenaikan kelasnya.

"NENG CANTIKKK!"

Kara terguncang kaget dengan suara keras dari arah belakang.

Gerubuk benda-benda berjatuhan membuat instingnya kian cemas dua kali lipat. Dia kemudian membenahi kresek bawaannya dengan pelan lalu berbalik untuk memastikan keberadaan pria paruh baya dengan kaos singlet bolong-bolong itu.

Feelingnya tak mungkin menghianati sang pemilik. Pantes perasaan gue gaenak.

Ia meringis, hafal betul situasi apa yang sedang terjadi. Dengan cepat bergegas membenarkan letak jinjingannya dan ngacir secepat kilat.

"AAAAAAAAAAAAA." teriak Kara merasa mulai gelisah, bulu kuduknya terasa berdiri sekujur tubuh.

"NEOMUU SYIBALLLL BANTUU AKUUU DENGAN KEKUATAN TANSUMU JANG UK!"

"Sia-sia gue nge fans sama lo Jang Uk."

Dia capek, teramat. Tapi pria paruh baya dengan galon yang diapit pada ketiaknya membuat Kara berlari hingga terjadi aksi kejar-kejaran yang tak mungkin terlewatkan.

Kara panik hingga tak sadar bahwa ia menangis, rasa cemas yang ia rasakan kian membuncah. Satu hal yang dilakukannya ketika tepat berada di depan gerbang adalah melompat dan memeluk erat Raga persis seperti anak kungkang.

Entah apa yang dilakukan lelaki jangkung itu sebagai hasil dari Ucun yang pergi tanpa mendekatinya lagi. Tapi bila dipikir-pikir mengapa Raga dapat tegak lurus tanpa limbung saat Kara melompat kearahnya, dia jadi persis tiang listrik.

Matanya membesar. Sekelebat mimpinya kemarin di siang bolong menyadarkan Kara.

Syalan. Kara melompat kebelakang, bisa-bisanya ingatan mimpi di hari lalu melintas di waktu yang tidak tepat.

"Eh hehe, makasih ya brow." ucap Kara canggung dengan tingkah aneh. Dia sampai hati mencetak jarak kurang lebih tiga meter dan mengabaikan Raga karena bergelut dengan pikirannya.

"Kenapa jaga jarak?"

"Hah? Mana ada, perasaan doang kali." kekeh Kara kikuk dan tersenyum karir.

"Lo sering begitu?"

Kara merengut, "Gue sering apa?"

"Meluk cowok sembarangan."

"Oh— enggalah, yakali." ucapnya cepat sembari menekuk tangan, tak lupa dengan senyuman yang sama. Dia celingak celinguk mengedarkan pandangan berusaha mencari topik agar dapat pergi dari sana.

"Gue," seperti memiliki pikiran yang sejalan, keduanya berucap berbarengan diwaktu yang sama.

Sebelum Raga membuka mulut dan bersuara, gadis itu bak memangkas waktu dan berucap dengan cepat, "Yap gue dulu, lo pasti maau bilang ‘Lo duluan aja?’ begitu, kan?"

"Jadi, gue permisi. Sibuk nih perintah kanjeng Viona," ucap Kara mengangkat tinggi jinjingannya. "Nanti dia marah kalo gue telat, lo taukan kalo dia nyebelin banget. Jadi gue duluan ya." tanpa salam, bahkan tanpa menunggu Raga menjawab atau mengutarakan pernyataan yang sebelumnya akan tercetus, Kara melengos begitu saja. Tidak ada sopan santunnya kisanak satu itu.

Bersamaan dengan itu, Amara yang akan jajan keluar sekolah menatap aneh pada Kara yang tak menyadari keberadaanya, dia lantas menurunkan tangan membatalkan lambaian tangannya.

"Lagi ngapain, Bang?" sapa Amara ikut menoleh kearah yang sedang Raga tatap.

"Kara, ya?"

Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban, "Ngerasa aneh gak sih sama dia?" Masa gue segede ini gak keliatan?"

"Mar, gue bau?" tanya Raga tiba-tiba memunculkan kerutan pada dahinya, lalu mendekat dan mencium aroma seragam sepupunya itu.

"Wangi, Bang. Wangi cowok gantle cool gitu." ucap Amara jujur memainkan alisnya naik turun.

Ragapun jadi ikutan mencium bagian lengan seragamnya.

"Emangnya kenapa, sih?"

"Kayanya Kara hindarin gue."

Amara bak sedang berfikir keras, "Kenapa juga Kara hindarin l—"

OHHH, GUE TAU!! Amara tersenyum jahat, sorry Kara sayangku cintaku.

"Kara kemarin mimpi ciuman sama lo."

***

"Wah wah wah, telinga gue dengung tadi." Kara mengelus telinga kanannya.

"Lama banget, lo dari mana aja?" setelah memutari tubuhnya seratus delapan puluh derajat, Viona kembali berucap, "Setelah diliat-liat muka lo dekil abizz, gue gak bohong." ucapnya dengan raut wajah berlebihan.

"Segitunya? Masa sih." percaya tak percaya, namun Kara tetap meraba kulit wajahnya, mencari kebenaran.

"Yeah, it's so oily. OMG gue gabisa bayangin kalo kulit gue yang ada diposisi lo itu." ucap Viona memegang kedua pipinya.

"Gausah didenger, Ra. Muka lo masih normal." ucap Amara yang baru saja datang. "Lo berlebihan, dasar kutil." sudah pasti kalimat menusuknya merujuk pada Viona.

"Sorry lo bilang apa barusan?" tanya Viona mendekatkan diri.

"Muka. lo. kaya. kutil." jelas Amara.

"By the way, tangan lo kecil juga ya?"

"Jelas."

"Kaya peluang lo masuk surga." kikikan tawa tertahan berasal dari teman sekelasnya membuat Amara senang setengah mati. Berbeda dengan Viona yang sudah merah padam.

"Bisa diem gak, gausah ketawa!" teriak Viona. "Lanjut kerja." tambahnya lalu pergi dari sana.

"Jangan gitu, kasian." tegur Kara. "Harusnya lo katain kadal mesir bukan kutil."

"Yee sama aja, kambink." Amara mendelik.

"Kalo aja mulut Viona BPKB, pasti udah gue gadein dari lama!"

The Cheerful Girl : CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang