24. Our problem

17 2 0
                                    

Chapter 24 : Our Problem

"Eum gimana ya gue bilangnya."

"Ga, lo ada kupon daging qurban? Bagi gue satu dong."

"Yang bener aja, Ra?" tanya Raga keheranan.

"Yaaa bener, lo kan panitia qurban? Bukannya pa haji cecep kemarin nawarin buat jadi panit qurban? Kalo gitumah gue aja yang nawarin diri, lumayan tau Ga dapet daging gratis, elo ah bodo di piara."

"Berd aja."

"Kenape Berd?" tanya Kara melirik ayam kecil di tangannya.

"Jadiin kurban."

Gretak! SETAN! Palet lukisnya amburadul karena Berd patuk-patuk secara acak. Dia jadi pusing karena terbangun dengan keadaan terkejut.

Terlebih.. mimpi sialan! Masa bodo Raga jadi panitia kurban, dia 100% tidak memiliki aura tersebut, tidak di dunia tidak pula di mimpi Raga si paling mengesalkan, masa ayamnya mau dijadikan kurban? Kenapa juga dia harus bermimpi jadi panitia bersama Raga? Toh Idul Adha sudah terlewat jauh.

"Ayam ajib! Ngagetin." begitulah Berd jika merasa lapar, dia hobi mematuki setiap sudut ruangan, include lemari kayunya yang hampir berlubang seperti di makan rayap. Patukannya lumayan maha dahsyat, lebih mematikan dari senapan angin.

Rasanya canggung sekali memanggil ayam kesayangannya Berd saat mengetahui jenis kelaminnya betina.

Apa kita ganti nama aja jadi betino ya. Betini juga bagus.

***

Hidup Kara memang se-santai rumput bergoyang, bukannya takut saat mendapat pesan dari Bianca yang notabe sudah menghilang dari hidupnya tanpa kabar, justru rasa exited yang kian mendominasi. Dia lupa kisah pertemanannya berakhir tak baik.

Kara meminum secangkir espresso pahit, sehapit kisah cintanya. Hahayy.

Tak ada pikiran buruk sama sekali terhadap Bianca yang sekarang sudah duduk tanpa raut wajah di hadapannya, seperti slendermen saja, mengajak bertemu di hari ini. Alasan Kara mengiyakan ajakan tersebut karena ingin melihat sendiri bagaimana Bianca yang telah berubah. Bianca yang sudah tobat, atau Bianca yang semakin menjadi-jadi.

"Bi, lo kemana aj—"

"Inget, tepat lo dibawa oma lo ke Jakarta, lo hadirin acara tunangan gue yang gagal?" tanpa basa-basi, Kara di lempari pertanyaan menohok yang lebih mirip sesi tebak-tebakan.

"Awal mula kebencian gue dari sana, lo dateng bikin kacau semua."

"Gue menderita.. bukan karena rasa bersalah, tapi karena rasa benci gue yang semakin besar dari hari kehari.

"Gue akhirnya lebih milih utarain semua, sebelum rasa benci gue ke elo makin besar, Ra. Gue lebih memilih cara ini ketimbang harus lanjutin bertahun-tahun jadi temen deket lo dan puru-pura everything is gonna okay."

Kalimat pembuka yang Bianca ucap membuka sedikit otak Kara untuk mencerna ke inti yang lebih dalam.

"Lo gatau kan seberapa gue berusaha buat dapetin Raga? Seberapa susah gue buat paksa nyokap bokap gue jodohin gue sama dia."

"Ra, I love him so much. Gue gabisa tanpa Raga, sedetik aja dia berpaling rasanya gue marah banget."

"Tapi lo ambil seluruh fokus Raga. Lo juga yang hancurin pertemanan gue. Sebelum ada lo semuanya baik-baik aja. Gue bahagia, gue punya Amara sama Viona."

"Lo tiba-tiba hadir rebut semua yang gue punya. Lo sadar ga kalo udah hancurin pertemanan Amara dan Viona yang udah saling kenal bahkan lebih lama dari lo? Lo gak ngerasa bersalah?"

"Orang tua guepun lebih suka sama lo karena lo yatim piatu."

"Kayanya lo salah paham deh, Bi."

"Orang waras mana yang ga salah paham, Ra."

"Lo cuman iri." kalimat Kara membungkam Bianca. Dia memang iri, obsesinya terlalu besar, dia benci jika apa yang sudah jadi miliknya harus terbagi.

"Atensi lo terlalu seberpengaruh itu, Ra. Gue senelumnha suka sama semha sikap dan sigat lo, gue tau kita bakal cocok, tapi ternyata akhirnya lo malah jadi orang yang paling gue benci."

"Lo inget bunga dan coklat yang cowo-cowo kasih ke waktu valentine tapi ternyata buat gue sama Amara?"

Kara diam menunggu kelanjutan cerita Amara. "Itu pure pemberian mereka, tapi Raga larang mereka deketin lo dan suruh ubah surat dan pengirimnya ke gue dan Amara."

"Lo tau dari mana?" Bianca membuang muka dengan smirk seperti nenek lampir, "Raga sendiri yang bilang, depan muka gue. Heran kenapa cowo-cowo bisa suka cewek modelan bar-bar."

Alis Kata beradu, "Bi, lo keterlauan banget?"

"Gue gaakan minta maaf. Gue gak menyesal sama sekali atas perbuatan gue ke lo dan kalimat yang gue ucapin barusan. Semua fakta, Ra, lo tinggal denger dan inget baik-baik. Tenang aja, rasanya belum sesakit jadi gue."

"Itu belum setimpal dibanding semua yang udah lo—"

Brush! Sisa air mengalir diwajah Bianca yang terngaga kaget. Namun bukan Kara pelakunya. Tapi Amara yang tiba-tiba datang dan berdiri diantara mereka.

"Cukup ya lo Bianca! Cangkem lo minta gue apain hah!"

"Gapunya malu, bitch!" Amara menggebu, rasanya tak cukup hanya dengan menyiram Bianca denhan air, tiba-tiba saja dia jadi mirip kucing puber.

"Lo apa-apaan?!"

"Make nanya, akal lo ilang?!" sarkasnya pada Amara,

"Gausah dipercaya omongan dia, Ra. Bikin otak mumet, omongan mak lampir gaada yang bener."

"Mar, kenapa lo ada disini?" ah, kejutan lainnya— ternyata selain keberadaan Bianca yang tiba-tiba berada di Bandung, Amara pun secara jebetulan ada disini. Semua serba tiba-tiba, Amara menguping pembicaraan mereka dari awal hingga akhir, dengan berpura-pura sebagai pelanggan dan duduk tak jauh dari mejanya.

The Cheerful Girl : CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang