8. Falling Love YoU

60 7 0
                                    

Chapter Delapan : Falling Love YoU

“Setiap bertemu kamu, aku selalu flu. I mean falling love you.”

HAPPY READING!

***

"Mar, mau tau satu hal gak?" ujar Mahen membuka suara setelah aksi tabrakan keduanya di depan pintu caffe.

"Apa, kak?" tanya Amara berusaha sopan, sadar dengan label kakak kelas yang masih melekat pada pria di depannya walaupun dia adalah teman dekat Raga— sepupunya.

"Gatau kenapa setiap deket kamu, aku selalu ‘flu’"

Tak begitu kaget, Mahen memang selalu merubah kosa kata aing-sianya ke aku-kamu saat hanya berdua bersama Amara.

"Flu?" Maksud dia, gue semacem bakteri penyebab flu, gitu?

"Sorry lo anggap gue bakteri? Bikin lo flu segala?"

"Bukan." ujar Mahen tenang.

"Terus?"

"Falling Love yoU" ujarnya terus terang.

Speechless. Amara membeku menatap Mahen yang tengah menyibak rambut brokolinya kebelakang dengan canggung, pria itu memegang tengkuk belakangnya sendiri menahan kegugupan.

Kara terengah dengan posisi membungkuk, memegang kedua lututnya sehabis berlari dan terhenti didepan mereka. Mahen maupun Amara menatap pada Kara bingung.

"Kenapa liat-liat?" dia menunjuk bergantian. "Nghalangin hhah jalan ajah." Kara merentangkan tangan menggeser posisi Amara dan Mahen yang tepat di depan pintu caffe. Disusul Raga, Bianca dan anak-anak karate.

"Mar, yang tadi—"

"Kak, gue masuk duluan ya." tanpa membutuhkan jawaban, Amara melengos dan segara menyusul kedalam caffe. Tak mau urusannya semakin panjanh.

Kean yang datang mengekor di urutan akhir menatap apes dengan tawa yang tertahan. Dia merangkul Mahen, "Gue tau maksud lo kemana, bro. Tapi masa ngedeketin cewek harus blak-blakan begitu." suara terbahaknya kian tak bisa ditahan.

"Ilfeel noh dia."

"Bangsat." Mahen malu sendiri, niat hati ingin lebih dekat dengan adik tingkatnya itu, dia justru malah mempermalukan dirinya sendiri.

Kara langsung selonjoran dikursi, berbeda dengan Bianca yang tenang dan justru memanggil waiters untuk memesan minuman. Wanita itu sangat keibuan, Kara merasa memiliki kakak perempuan bila berada dekat dengan Bianca.

"Aing baru tau nama ayah si Bima itu Priyo." ungkap Mahen membeberkan fakta ditengah keheningan.

"Terus kenapa emangnya, Kak?" tanya salah satu anak karate kelas sepuluh.

"Tau gak maraneh, siapa nama ibunya?" yang lain saling tatap memikirkan jawaban dari pertanyaan konyol Mahen.

"Wanito." jawab dirinya sendiri dengan tawa meledak. Hening kembali, sebab hanya dia yang tertawa.

Tampilannya yang kacau dengan kaos biru laut dan celana putih karate memicu atensi Amara yang baru saja terduduk.

"Oma lo pasti sedih liat cucunya jadi gembel gini." ucap Amara lesu dengan tangan mengelus rambut Kara pelan.

"Gigi lo letoy, mana ada gue mirip gembel."

"Berapa bulan lagi ujian kenaikan kelas, bukannya sibuk belajar lo malah sibuk latihan karate." ingatkan Amara sekali lagi.

"Gue tetep prioritasin ujian dong nanti. Masih lama santai aja kenapa sih."

"Gue gak seneng lo dijailin kaya tadi," kesal Amara saat Kara dititah untuk berlari lapangan sendirian mengingat memang hal tersebut dapat melatih fisik gadis mungil itu. Namun dilain sisi tak adil bagi Kara karena hanya dirinya yang memutari lapangan sedangkan siswa lain mendapatkan pelatihan semestinya di dalam aula.

Ahh itu. Kara ingat Amara memergokinya sedang berlari memutari lapangan saat dia baru saja selesai mengikuti ekskul jurnalistik.

"Lo gak sayang sama diri sendiri?" tanya Amara merasa tak tega melihat badan mungil Kara yang bak kurang gizi melakukan latihan fisik.

"Capek kan? Udahlah masuk jurnalistik aja, Ra. Kerja santai, enak, lo semenjak ikut latihan karate jadi kucel begini."

"Sembarangan, niat si bocil udah gede jangan lo buat goyah." kata Kean.

"Ya lo juga kalo ngasih latihan buat Kara jangan dibedain sama yang lain, harus adil dong."

"Lah gue sih cuman disuruh—"

Plak! Tepat dikepala, Mahen berhasil menghentikan keributan dengan geplakan di kepala Kean.

"Sia gausah nambah-nambah keributan."

Kara mengangguk setuju, "Gue cuman mau coba pengalaman tanding karate minimal sekali seumur hidup doang, Mar."

"Berarti abis tanding karate kelar lo mau ya masuk jurnalistik?" kekeh Amara memaksa.

"Lo mau gue tiap hari debat mulu sama Viona?" saut Kara.

"Itu dia, gue biar ada temen buat ngelawan mulut cabenya si Viona."

"

Cemen amat gak berani sendiri." kata Kean.

"Gausah ikut campur!"

"Eh mau pada pesen apa?" tanya Bianca pada semua orang. Caffe ini memang menjadi salah satu tempat ngopi anak Trinity karena semua harga makanan atupun minumannya pas dikantong.

"Milk tea sama pisang keju."

"Samain kaya yang lain." teriak Kean.

"Aing mau tambah toast." ucap Mahen.

"Gaya bener pesen toast, biasanya juga pesen mie ayam spesial pake bakso." ucap Kean.

"Trauma, sia kan jatohin bakso aing yang kemaren. Suapan terakhir."

"Kak, sebenernya udah lama sih gue pengen nanya."  ucap Bianca mendapat atensi semua orang disana.

"Kenapa lo kalo ngomong pake aing-sia bukan lo-gue?"

"Sunda pride." jawab Kean mewakili.

"Aing nyaman aja kaya gini, orang aseli Bandung. Jadi ciri khas biar maraneh pada tau." jelas Mahen.

"Gak ada niatan sehari buat nyoba tanpa aing-sia?" tanya Amara ikut heran.

"Ada, ada aja kalo buat kamu."

"Aduh mau muntah." cibir Kara berpura-pura.

The Cheerful Girl : CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang