11. Teater time

24 7 0
                                    

Chapter Sebelas : Teater Time

In life, there will be things that come up by itself. But there will be things that also need to struggle to get it.”

Happy Reading!!

***

"Dasar kau pangeran bodoh! Kau hanya akan menghancurkan rencanaku, tapi sebelum itu jangan harap bisa menyelamatkan sang putri, karena aku akan membunuhmu!" kata penyihir tersebut, Kara menahan tawa saat melihat wajah Amara full dengan makeup hitam dan putih sebagai kerutan. Tak menyangka gadis itu akan cocok memerani peran tua bangka.

"Kau kira aku takut pada penyihir sepertimu? Aku yang akan membunuhmu dan menyelamatkan sang putri." gagahnya Elang yang berperan sebagai pangeran. Ya, siapa dulu pembuat kostum miliknya itu. Tanpa kostum tersebut Elang tidak akan ada apa-apanya.

"Apa! Beraninya kau mengatakan hal seperti itu padaku?" wajah si penyihir terlihat murka.

"Lihat saja apa yang akan aku lakukan. Aku akan membunuhmu!" sang Pangeran mengacungkan pedangnya tinggi.

"Enyahlah kau penyihir jahat!"

"Akhhh... tidakk!" teriak penyihir saat pedang itu menembus jantungnya.

Pangeran Andrea yang tampan, gagah dan pemberani akhirnya berhasil membunuh penyihir jahat. Sekarang kesempatan baginya untuk menyelamatkan putri Aurora dan segera pergi ke istana.

"Putri Aurora, ini aku Pangeran Andrea. Kau dimana?" dia menapaki istana gemerlap dan mencoba mencari keberadaan sang Putri.

"Putri, disini aku akan menyelamatkanmu dari kutukan penyihir jahat." Pangeran Andrea pun segera menghampiri Putri yang masih tertidur pulas. Dengan lembut Pangeran Andrea menggenggam tangan sang Putri dan kemudian menciumnya.

"AAAAAAAWWWW." teriak para penonton meleleh membuat Kara ikut tersenyum, merasa puas dengan antusiasme para penonton yang bereaksi keras.

Keajaiban pun muncul ketika sang Putri membuka matanya. Langit cerah datang menggantikan awan hitam, serta merta hujan badai dan petir terhenti saat itu juga.

"Pangeran, aku sangat berterima kasih banyak. Dirimu telah membebaskanku dari kutukan ini." sungguh Kara ingin mencibir, akting Viona sungguh terlihat dibuat-buat.

"Terima kasih telah menyelamatkan putriku dan kerajaan ini dari kehancuran."

"Jangan berterima kasih padaku seperti itu. Aku melakukan semua ini karena aku sangat mencintai putrimu, baginda."

"Putriku? Kau mencintainya?" tanya Raja.

"Ya, baginda. Izinkan aku untuk menikahi Putri Aurora." setelah sang Raja menatap istrinya, dia mengangguk memberikan izin tersebut.

"Tuan putri, bersediakah anda menikah denganku?"

"Sebenarnya dirimu adalah orang yang telah lama aku tunggu, pangeran. Kau yang telah menyelamatkanku, kaupun cinta pertamaku. Aku sangat bersedia untuk menikah denganmu."

Setelah itu akhirnya putri Aurora dan Pangeran Andrea menikah dan mereka hidup bahagia selamanya.

Tirai merah tertutup setelah narator menyelesaikan ucapan terakhirnya, semua penonton bertepuk tangan meriah.

Kara cepat-cepat berlari ke belakang panggung aula, menaikinya dan bergabung disana. Namun tak sengaja bersisihan dengan Viona yang tak mengatakan apapun, Kara yang sudah membuka mulut ingin mencibir, urung.

Dalam seni pertunjukan ini Kara tidak mendapatkan peran apa-apa, karena kebetulan peran drama tersebut hanya membutuhkan sembilan pemeran, enam pemeran inti dan tiga pemeran sebagai pohon, meja dan hujan. Sisanya bertugas sebagai pendekor ruangan dan pembuat kostum.

Tirai terbuka kembali, semua menunduk sebagai penghormatan dan ucapan terimakasih. Tepuk tangan kembali meriah. Ditengah rasa senangnya seseorang menghampiri Kara, terhenti tepat disampingnya dan berbisik.

"Well, drama pertunjukan yang sebenarnya belum dimulai."

***

"Eh lo sedih gasih kalo misal, pemisalan nih ya." ucap Amara menekankan kata pemisalan, "Misalnya jauhan sama temen atau orang deket lo."

"Sedih lah."

"Nih misal yah, dia tuh mau kuliah jauh gitu kan buat belajar, buat belajar loh. Lo bolehin gak?"

"Boleh lah."

"Misal ya, kalo—"

"Apaan, misal misal mulu. To the point atau gue patahin tongkat-tongkatan nenek sihir lo ini." ancam Kara memegang tongkat sihir yang baru mereka pentaskan sebagai properti teater.

"JANGAN GILA! Gue harus take a picture dulu sama kostum dan properti cantik ini."

"Hasil jerih payah gue."

"Nyenyenye. Paling dana dari uang kas buat kostumanya lo korupsi pake jajan bakso."

"Bangsat, mulut lo minta di kretek."

"Udahan, balik topik." Amara kembali serius setelah membenarkan letak tongkat sihir. "Kalo semisal—"

"Gue enek denger lo bilang misal mulu."

"YA SABAR KENAPA SIH NJING?"

"TIGA MENIT GUE JUGA BERHARGA YA BABI."

Amara menunduk memainkan jubah panjangnya, "Raga." ucap Amara memberi kata kunci.

"Kenapa, Raga?"

"Dia daftar ke Nanyang."

"Kuliah?"

"Iya."

"KE SINGAPUR?" Kara melotot membuat Amara mengangkat kepalanya.

"Jangan bilang Bang Raga gue yang kasih tau lo ya please." Amara memohon dengan segenap hati.

"Jauh amat. Kaya yang iye aja."

"Lo tolol kata gue." benar-benar tak habis fikri. "Gue serius tau, Ra. Lo gak kaget apa gimana gitu?"

"Tau sendirikan dia ikut turnamen karate buat yang terakhir kalinya? itu karena kalo dia bisa menang dia bisa dapet beasiswa ke Nanyang Ra, sponsornya gak main-main."

"Keren banget. Otak Raga juga pasti nyampe kalo kuliah disana. Gue sih yes yes aja." toh Raga tidak membutuhkan pendapatnya bukan? Siapa dia ini.

"Harusnya lo kecewa karena jadi orang kesekian yang tau kalo Bang Raga bakal kuliah di luar negeri. Luar negeri loh, bukan luar kota."

"Ya terus, gue harus jungkir balik? Masalah di gue apa?"

"Lah kan lo suka Bang—"

"Kalian ngomongin siapa?"

Parah. Saking terkejutnya dengkul Kara sampai bergetar.

The Cheerful Girl : CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang