22. I'm here, behind you

34 2 0
                                    

Chapter Dua Puluh Dua : I'm Here Behind You

Setelah mengucapkan kalimat yang tertahan dalam hatinya, Kara melangkah tenang dengan segaris senyuman tanpa pedih lagi. Hanya saja, rasanya begitu ringan. Seperti belenggu yang dulu ada kini menghilang.

Mungkin jawaban dari semua hanyalah menerima dan berdamai.

Langkah kaki Kara tehenti, bukan untuk berbalik, tapi karena Gege berdiri tepat satu meter di depannya dengan air muka yang berbeda, jelas membuat Kara kembali merasakan rasa mengganjal dalam hati yang tidak bisa diartikan.

"Kara." tak bohong ia dapat melihat guratan menyayat hati dan air mata yang sudah mengering pada pipi Gege.

Tangannya bergetar dengan kaki yang sepertinya sudah tak mampu untuk digerakan walau dalam tiga langkah, Kara menangkap Gege yang terhuyung ke depan.

"Ate kenapa?"

Firasatnya buruk.

Benar bukan apa yang diucapkannya, dia diberi kebahagian bertubi sebelum akhirnya diberi kesedihan tiada henti.

Dia meringkuk disisi dua gundukan tanah dengan papan nama kedua orang yang Kara sayang. Melisa dan Satya. Tanah yang masih baru itu membawa kesedihan mendalam baginya dan Gege.

Dipegangnya dengan erat surat dengan amplop berwana beige itu.

"Ra, ayo pulang. Ate tau kamu pasti cape." ucap Gege lemah dengan mata sayu, bahkan Kara masih menggunakan seragam sekolah tanpa sempat menggantinya.

Kara menatap Gege yang tengah menatap kedepan lurus dengan pikiran kosong, dia ingat ate-nya itu pernah berkata bahwa suami impiannya seperti Lee Min-ho yang kurus, tinggi dan banyak uang. Eh tapi dapetnya spek om Satya yang gemuk berisi tapi penyayang luar biasa dan gak pelit meskipun ya minusnya gak mirip Lee Min-hoo aja. Haha.

Bahkan rumah yang kosong tanpa hiruk pikuk beberapa tahun kini riuh dan dipenuhi orang-orang. Tapi itu bukan yang Kara inginkan, bukan ini yang Kara mau.

"Sekali lagi gue turut berduka cita ya, Ra." ucap Amara sembari berpamitan pulang. Dia menemani Kara seharian dan seolah melupakan kejadian yang terjadi diantara keduanya. "Lo jangan sedih-sedih, gue tau ini gak mudah. Tapi masih ada kita buat tempat lo ngadu dan cerita."

"Aing juga bakal siap sedia kalo dibutuhin." tambah Mahen.

Kara tersenyum, "Makasi banyak udah nemenin gue dari siang, sorry kalo jadi ganggu aktifitas lain kalian."

"Santai, Ra." balas Kean.

"Kita pamit pulang ya." Kara mengangguk sebagai balasan. "Tolong kasih tau Kak Gege juga kita pamit pulang."

Setelahnya, selang beberapa menit Gege datang, "Temen-temen kamu udah pada pulang ya?"

"Iya, Te. Barusan banget."

"Kenapa ga kamu suruh makan dulu, Ra. Kasian banget dari siang pasti ga sempet makan apa-apa."

"Yah Kara juga kelupaan, Te."

"Yaudah kamu bersih-bersih terus istirahat ya, udah malem." kata Gege mengelus pundaknya lembut.

"Iya, ate juga ya. Kara masuk kamar dulu."

Bohong, mana bisa Kara beristirahat tenang  dalam situasi seperti ini. Tak masuk kamar seperti ucapannya, dia duduk tanpa alas di taman belakang rumah sembari menangis sesenggukan dengan bahu bergetar hebat. Memainkan rerumputan tanpa mencabutinya.

Dia teringat perbincangan siang tadi dengan Gege.

"Kenapa bisa sih, Te?" tanya Kara sesenggukan,

"Oma denger semua desas-desus kamu di sekolah. Oma khawatir dan minta saat itu juga mau ke Jakarta, subuh-subuh waktu ujan gede banget."

"Kenapa gak Ate larang aja? Kan bahaya, Te."

"Ra, keluarga mana yang gak marah dan khawatir saat tau cucu dan keponakannya di fitnah klepto, di katain anak pasti asuhan, ga di didik orang tua?—" ucapnya tanpa jeda dengan nafas memburu, memikirkan hal itu membuat amarahnya kembali tersulut. "Kenapa bisa-bisanya sekolah malah skorsing kamu tanpa cari kebenarannya dulu?"

"Udah, Te. Kara gapapa ko Kara kan emang anak panti asuhan. Ga semua yang di omongin mereka salah."

"..." Gege termenung.

"Maaf Ate gabisa ngertiin kamu. Pasti berat ya?" tanya Gege menambah tangis Kara.

***

Surat dari Oma. Dia baru teringat surat beige yang sedari siang berada di genggamannya.

Teruntuk Amel,

Maaf jika Oma kurang memperhatikan Amel. Oma jarang pulang ke rumah ya, nak?

Oma dengar kamu ada masalah di sekolah? Sayang, meskipun Amel bukan cucu kandung Oma, tapi Oma menganggap Amel lebih dari pada itu. Kamu adalah anak, cucu dan malaikat kecil oma. Si manis pembawa kebahagiaan, persis seperti namamu.

Masalah datang untuk dihadapi, sesusah apapun jalan keluarnya pasti ada. Gaada yang salah dengan anak pasti asuhan. Kalau Amel merasa dunia dan orang-orang disekitar terlalu jahat, masih ada diri sendiri untuk dipercaya.

Nanti kita hangout berdua ke Bandung ya, sayang. Oma luangin waktu seharian buat kamu.

Love,
Oma Melisa.

Raga hanya terdiam menatap dari kejauhan, berharap Kara baik-baik saja. Bertemu dengan Kara pada situasi ini hanya akan memperparah keadaan, Kara mungkin masih membencinya.

Tapi persetan dengan Kara akan semakin membencinya, dia mengambil langkah besar, menarik pergelangan tangan Kara saat wanita itu hendak pergi lantas memeluknya erat tanpa ijin. Itu kali pertama Raga memeluk seorang wanita selain ibunya sendiri.

Entah ini jantungnya— atau bahkan jantung Raga (?) Tapi mengapa detaknya begitu tak karuan.

"Nangis aja, jangan di tahan." ucap Raga mulai mengelus punggung Kara namun tangan Kara menggantung tanpa ingin membalas pelukan singkat itu.

"Makasih, Ga. Tapi mending lo pulang aja. Om Edric larang lo deket-deket gue."

The Cheerful Girl : CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang