21. Yang hilang berganti

44 6 0
                                    

Chapter 21 : Yang Hilang Berganti

Selain cacing dan segala bentuk serangga melata, Kara sadar bahwa ia paling benci terkurung berdua bersama Viona di aula sekolah dengan lampu mati dan tentu minim penerangan.

"Sekarang gimana? Ini semua gara-gara lo yang bertingkah ya!" Viona mencercanya.

Kara mendekat, "Gue cuman mau tau kebenarannya dari mulut lo, gue juga gatau kalo bakal begini."

Inilah sebab mengapa Amara dan Elang mati-matian untuk menggagalkan rencananya yang belum matang ini. Dia hanya tahu bagaimana cara membawa Viona berbicara empat mata dan menahannya di aula sekolah tanpa memikirkan rencana setelahnya. Dia tak punya plan B.

"Mau lo apasih? Gausah basa-basi." Viona menatapnyaa sinis, mereka duduk berhadapan namun dengan jarak terlampau jauh.

Kara mendekat dan menyodorkan ponselnya yang tengah memutar rekaman CCTV saat Viona membawa amplop coklat berisi uang sponsor dari atas meja yang telah Kara letakan sesuai pengakuannya, "Gue ga mencuri, lo sendiri yang bawa uangnya." ucapnya setenang air.

Viona terdiam ketar ketir, seperti maling yang baru saja tertangkap basah, namun beberapa menit kemudian gadis itu mencetak senyuman yang berhasil membuat Kara bergidik ngeri menatapnya dikeadaan gelap. Gila.

"Gue ketauan ya? Yaudah, mau gimana lagi." Ucap Viona seperti mengutarakan kekalahannya dengan mudah. "Lo puas kan selalu liat gue kalah sedangkan lo menang diatas penderitaan gue." Kara tambah tak mengerti dengan apa yang sedang Viona ucapkan, dia hanya mengerut bingung tanpa memotong pembicaraan Viona yang belum selesai.

"Lo selalu ambil kebahagiaan gue, lo ambil Amara dari gue. Amara satu satunya sahabat gue tapi dia lebih milih lo, orang baru di hidupnya, ketimbang gue yang lebih lama ada. Lo rebut Raga dari gue, cinta pertama gue, dia selalu baik dan care sama gue, sampai lo tiba-tiba datang sebagai cucu angkat oma Melisa, Raga berubah. Gue masih fine dengan itu semua sampai akhirnya lo rebut juga eksistensi dan kasih sayang kedua orang tua gue karena dimata mereka lo anak yang kekurangan kasih sayang sebab lo anak panti asuhan. Lo punya Amara, lo punya Raga, bahkan lo punya tante Zeina. Lo pengalang kebahagiaan gue, Ra."

Kara tertegun saat Viona menunduk.

"Sorry. Gue minta maaf kalo kedatangan dan keberadaan gue ternyata bawa celaka buat lo." Ungkap Kara pelan.

"Tapi, Gue ga pernah mau jadi anak panti, gue juga gamau dapet ibaan siapapun. Siapasih yang mau jadi gue? Yang gue rasa saat itu cuman ada rasa seneng, gue seneng akhirnya punya keluarga, ketemu kalian, lo, Raga, Amara. Gue seneng ketemu tante Zeina, dan gue bersyukur kenal orangtua lo yang baik banget sama gue. Tapi perhatian mereka ke gue dan perhatian yang dikasih ke lo beda besarnya, sayangnya mereka ke lo gaakan ada yang bisa nandingin, Vi. Karena lo anak kandungnya."

Detik itu juga Viona menangis sejadi-jadinya, rasanya salah, mengapa yang ia dapat bukan makian atas perbuatannya.

"Gue ga seharusnya nurutin ego, gue egois, Ra. Bertahun-tahun gue udah lupain dendam gue. Sampai akhirnya Bianca ketemu gue dan ngajak kerja sama buat jatohin lo, gue cuman disuruh, dalangnya temen lo sendiri, pasti sakit kan, Ra?"

"Bentar- maksud lo Bianca mana..?"

"Selamat deh lo akhirnya punya musuh dalam selimut."

"Gue gatau apa yang salah sama diri gue, tapi rasanya gue pengen peluk lo sekali aja, Ra."

Dengan lapang Kara mendekap Viona yang masih terisak, "Jujur gue gapernah nyesel pernah temenan sama lo, walau sulit gue harap kita bisa temenan lagi kaya dulu suatu saat ya, Ra."

***

Dengan mata sembab yang tersisa, Kara dan Amara tertahan di koridor karena suara perkelahingan yang mengintrupsinya.

Keduanya saling tatap, "Lo masih musuh gue, ya." ucap Viona sempat-sempatnya mengacungkan bendera permusuhan setelah apa yang telah terhadi saat mereka terjebak di dalam aula.

"Malu lo, harusnya lo ngaku dari awal tolol."

Suara yang dikenalnya membuat Kara tertarik dan melaju hingga pada jarak kurang lebih satu meter, betul saja ada Amara yang tengah mengacungkan jari telunjuknya pada Elang dengan wajah penuh amarah, dan keneradaan tiga lelaki yang berusaha memisahkan keduanya.

"Bagus lo ada disini." ucap Amara menatap Kara.

"Lo tau, Ra? Lo itu dibohongin sama dia, Ra, lo bisa-bisanya temenan sama dia." ucap Amara nyalang bahkan dia terus-menerus mendorong dada Elang secara kasar.

"Elang udah tau kalo termyata dalang dari orang yang fitnah lo, orang yang bikin berita gabener dimading itu tuh—"

"Bianca." tebak Kara melanjutkan kalimat Amara yang belum tuntas.

"Bajingan." Raga maju dengan emosi penuh, seperti hendak memukuli Elang.

"Lo udah tau?" tanya Amara lemas sia-sia, padahal dia ingin menguak dalang dari masalah ini sebagai bukti permohonan maafnya yang tulus atas apa yang telah ia lakukan pada Kara, tapi apa buat jika Kara sudah mengetahuinya lebih awal.

"Bisa gausah main kasar?" ucap Kara sembari menghalang pukulan Raga pada Elang, membuat kepala lelaki yang sebelumnya menunduk dalam itu terangkat. Dia mendapati tubuh mungil Kara yang sedang menjadi tameng di depannya. "Gak bisa semuanya di bicarain pake mulut bukan tangan?"

"KARA!" Amara berteriak marah gregetan. "Ngapain lo belain dia, sih?"

"Anggap balas budi karena Elang yang ada buat bela gue. Dia yang inget kalo gue juga manusia biasa yang butuh support. Dia gak pernah tinggalin gue, Mar." sendu itu datang lagi saat Kara mengucap bait kata terakhirnya. Hatinya seperti diremas.

"Kalo gaada dia, gue mungkin udah stress saking gak bisa hadapin semua tekanan dari sana sini sendiri. Gue gak pernah bayangin sekalipun dalam hidup kejadian itu, gue yang kira hidup gue bakal normal dan tenang ternyata bisa berantakan juga. Saat itu, saat gue bener-bener butuh seorang teman— lo kemana?"

"Ra, gue— gue nyesel. Gue emang temen ter bodoh, gue malu sama diri sendiri karena selalu ngerasa jadi sahabat terbaik lo tapi ternyata saat lo ada di fase paling bawah gue gaada buat lo, gue gaada disana dan berperan sebagai sahabat semestinya, gue bener-bener minta maaf, Ra."

"Gapapa, Mar. Udah lalu." Kara tersenyum tegar, sedangkan Amara sudah tak bisa lagi menahan air mata.

"Seberapa besar salah Elang yang bisa nutupin sakit hati gue dari kalian? Gue gak marah, gue cuman gabisa lupa."

"Gue cukup dapet tekanan dan segala pelajaran hidup dari kejadian ini. Gue bahkan berterima kasih karena Elang rahasiain siapa dalangnya ke gue. Karena kalo engga.. gue mungkin udah acak-acak muka Bianca." Kara tertawa,

"Tapi sekarang gue udah nerima semuanya, minimal ini pelajaran buat gue. Hidup terus berjalan bukan?"

The Cheerful Girl : CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang