*
Marko menghela napas gusar. Ia sejak tadi hanya sibuk membolak-balik kertas dihadapannya. Semangat belajarnya hilang dan lenyap begitu saja.
Pemuda itu bangkit dari duduknya, melangkah keluar kamar. Wajahnya jadi datar seketika saat keponakannya, malah main tik-tok yang berhasil menimbulkan suasana ricuh di rumahnya.
"Lo bisa nggak sih nggak joged-joged mulu? Belajar sana!", kata Marko sembari berkacak pinggang. Ia menatap keponakan laki-lakinya itu kini memasang raut menantang.
"Om payah, nih! Ini kegiatan anak muda jaman sekarang, lagi joged-joged begini," balas sang keponakan dengan wajah menyebalkannya.
"Bodo amat! Sekarang lo ke kamar lo, belajar! Kalau lo nggak belajar, gue yang bakalan ditampol sama bapak lo!", kata Marko sudah kepalang kesal dengan sang keponakan.
"KAAKEEEKKKK!"
Marko langsung diam. Keponakannya itu sudah mengeluarkan teriakan saktinya. Ia akan dapat 'hadiah' lagi dari sang ayah.
Sigit--ayah Marko sudah keluar dari kamarnya. Ia menghampiri anak dan cucu laki-lakinya itu. "Kamu kenapa, Aldi?"
"Ini nih, Om Marko malah maksa masuk kamar, dipaksa belajar," adu Aldo dengan wajah memelasnya mendekati Sigit. Marko dalam hati mengumpat kesal.
"Marko?", panggil Sigit membuat Marko mendengus.
"Bukan gitu, Pak. Aldi mainannya joged-joged mulu. Kan bapak tau sendiri kak Miko sama kak Wita udah amanahin Marko buat ngajar itu bocah , Pak."
Sigit mengangguk setuju. Ia menatap Aldi dengan sorot lembut. "Betul kata Om Marko, kamu harus belajar. Biar pintar dan dapat nilai bagus."
Aldi terdiam beberapa saat. Setelahnya, anak itu mengangguk setuju. Ia pun langsung masuk ke kamarnya dan mulai belajar.
Kini tersisa Marko dan Sigit di ruang tengah. Marko langsung duduk di kursi. "Anaknya Kak Miko bobrok banget sih, turunan bapaknya," keluh Marko yang langsung dapat teguran dan Sigit.
"Hush, nggak boleh begitu. Aldi itu keponakanmu. Wajar kalau dia bersikap seperti tadi, taunya cuma bersenang-senang. Dia baru kelas satu SMP, baru belajar adaptasi. "
"Iya sih, Pak. Semoga aja semangat belajar Aldi makin meningkat seiring waktu," balas Marko.
Sigit mengangguk setuju. "Oh iya, bapak baru ingat sesuatu. Kamu ikut seleksi olimpiade biologi lagi?"
"Iya, Pak. Kata guru biologi Marko, bakalan ada seleksi siswa minggu depan. Tes pake beberapa lembar soal biologi olimpiade tahun-tahun lalu."
"Bapak doakan semoga kamu lolos."
"Aamiin, Pak."
Tetew tetetetew tetew tew tetetetew tetetew
Marko dan Sigit terdiam mendengar suara musik DJ super keras itu. Marko sudah menipiskan bibir. Marko bangkit dari duduknya dan segera ke depan pintu kamar Aldi. Tangannya mengetuk-ngetuk pintu kamar Aldi dengan cukup keras. "Woy, bocah! Buka pintu kamar lo!"
Tak ada respon.
Kekesalan Marko sudah sampai ubun-ubun. Ia menggedor pintu kamar Aldi makin keras, membuat Sigit menegur Marko berkali-kali. "WOY ALDI SETAN! BUKAIN PINTU LO, WOY! KALO KAGAK GUE DOBRAK, NIH?! APA PERLU GUE HANCURIN SEKALIAN?!"
Teriakan Marko berhasil membuat musik dari kamar Aldi terhenti. Pintu kamar Aldi terbuka, menampilkan remaja itu kini menyengir lebar ke arah Marko.
Mata Marko melotot. Tanpa berpikir panjang ia langsung memiting leher Aldi yang membuat remaja itu meronta-ronta ingin segera dilepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biology vs Diary
Teen FictionIni tentang Marko Nervada Sigit, yang bingung akan pilihannya sendiri. Marko siswa jebolan olimpiade biologi yang kadang punya otak 'fiktor', alias fikiran kotor yang tidak pernah sadar tentang rasa yang ia alami sendiri. Tak hanya Marko, Kimmy Waf...