Biologi vs Diary | 19

28 7 2
                                    

Marko sudah pulang sejak satu jam yang lalu.

Tapi rasa sesak di dada Kimmy masih saja ada.

Entah sampai kapan dia akan bersikap 'bodoh' seperti ini.

Sekarang Kimmy memilih berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Fadel dan Farel yang kini berganti menjaga ayah di dalam ruangan.

Mata Kimmy memandang kawasan rumah sakit yang dominan dengan nuansa warna putih itu, ditambah bau obat-obatan yang entah mengapa membawa kesedihan sendiri bagi Kimmy.

Langkah gadis itu terus terayun. Kembali berhenti kala kakinya terpaku di salah satu depan ruang rawat, dimana beberapa orang menangis kala berbicara dengan sang dokter.

Yang membuat Kimmy terkejut, salah satu wanita bergaun putih sudah nampak histeris, kala sebuah tempat tidur beroda--yang Kimmy tidak tahu apa nama lainnya, didorong oleh dua orang perawat keluar dari ruangan. Sosok itu, tertutup lain putih panjang. Perlahan disingkap, hingga tangan Kimmy terangkat menutup mulutnya sendiri. Perempuan bergaun putih itu makin histeris, sebab ternyata sosok yang sud ah terbujur kaku itu adalah calon suaminya yang meninggal karena kecelakaan.

Hati Kimmy seakan tercubit menyaksikan pemandangan itu. Rupanya, ia masih beruntung, sebab Tuhan masih memberi umur pada sang ayah yang sempat koma selama enam bulan. Tapi, calon pasangan suami-istri itu bahkan belum sempat untuk sekadar mengucap kalimat perpisahannya.

Tak mau semakin sedih melihatnya, Kimmy kembali berjalan menyusuri tiap lorong di kawasan rumah sakit.

Lagi-lagi, ia mendapati situasi dimana keluarga menunggu di depan ruang rawat dengan wajah cemas, sembari merapalkan doa sebanyak-banyaknya. Kimmy tidak tahu, apa yang menyebabkannya menghentikan langkah kaki melihat sekumpulan keluarga di luar ruang rawat. Tapi yang jelas, Kimmy bisa menyimpulkan, alasan itu tidak lain dan tidak bukan, karena ia pernah di posisi sesedih itu kala melihat ayahnya berjuang melawan kematiannya sendiri.

Menghembuskan napas panjang, Kimmy memutuskan untuk berbalik, dan kembali ke ruang rawat ayahnya. Ia ingin memeluk ayahnya sekarang juga.

*****

Jantung Kimmy serasa mencelos dari tempatnya, kala sosok wanita paruh baya itu baru saja keluar dari salah satu ruangan dokter spesialis penyakit dalam.

Walau ragu, Kimmy mendekat sebelum sosok itu pergi.

"Tante!"

Wanita paruh baya itu terkejut setengah mati mendapati Kimmy berjalan ke arahnya. Tak mau berhadapan dengan Kimmy, ia melangkah cepat. Tapi pergerakan Kimmy lebih cepat, tangan Kimmy bahkan sudah menggenggam pergelangan tangan wanita paruh baya itu.

"Mau apa lagi kamu?", tanyanya tajam. Kimmy diam. Pandangannya masih sama tajamnya ketika terakhir Kimmy berkunjung ke rumahnya, untuk bisa belajar bersama anaknya.

"Tante sakit apa?", tanya Kimmy kemudian. Lalu perlahan melepas tangan wanita paruh baya itu.

"Saya sehat ataupun sakit itu bukan urusanmu."

"Tapi maaf, tante. Anak tante adalah salah satu orang yang baik sama saya. Jadi, saya tidak mau dia sedih karena mamanya sudah mulai tidak jujur sama dia." Kimmy menatap wanita paruh baya itu tepat. Lalu mengarahkannya duduk di kursi.

"Tidak ada satupun teman Clara yang berani membalas saya, selain kamu." Mama Clara nampak tak habis pikir dengan tindakan Kimmy.

"Untuk apa juga saya takut, tante?" Kimmy membalas. "Tante sakit apa memangnya?", tanya Kimmy sekali lagi.

Sosok disebelahnya itu masih saja betah mengunci mulut.

Kimmy mendengus pelan. "Oke, kalau tante nggak mau bilang. Saya nggak masalah. Yang saya sadari, selama ini tante terlalu keras dan dominan pada kak Clara. Bertingkah sesuka tante, tanpa memikirkan bagaimana perasaan anak tante. Kak Clara anak perempuan tante satu-satunya. Tapi, Kimmy nggak bisa menghakimi tante, karena Kimmy orang baru. Pasti ada alasan mendasar kenapa tante bisa bersikap seperti ini. Sikap asli tante pastinya jauh dari kasar, dominan, dan segala kata buruk lainnya."

Biology vs DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang