Gadis dengan wajah dingin itu entah sudah berapa kali ia menahan diri untuk tidak berkata kasar pada orang dihadapannya itu.
"Kamu ini bagaimana Clara?! Nilai kamu benar-benar menurun di semester lalu! Bagaimana ceritanya kamu bisa banggain mama sama mendiang papa?!"
Wanita paruh baya itu berteriak dengan wajah geram di hadapan Clara. Gadis itu hanya diam, walau sebetulnya telinganya panas mendengar omelan sang Mama, yang selalu saja menuntut kesempurnaan darinya.
Clara harus belajar dengan giat dan memperoleh nilai bagus, harus bisa segalanya, harus bisa menandingi orang-orang yang dianggap mama sebagai ancaman dan kompetitor terberat.
Jujur saja, Clara lelah menjalani hidup seperti ini. Ia hanya ingin hidup normal seperti remaja lainnya. Belajar dengan santai dan tanpa ada tekanan, bisa belajar kelompok bersama teman-teman tanpa ada intimidasi, bisa berkumpul dan bercanda bersama teman-temannya, dan melakukan hal berguna sekaligus bahagia dimasa mudanya.
"Clara! Mama bicara sama kamu! Jawab mama!", teriak sang Mama dengan suaranya yang makin meninggi.
"Iya, Ma. Clara salah. Semester ini, Clara akan belajar lebih giat," jawab Clara dengan wajah tertunduk pasrah.
"Bagus!"
Mamanya sudah melangkah meninggalkan Clara yang masih diam mematung di sofa ruang tamu. Diam-diam, kedua tangan Clara terkepal begitu kuat. Gadis itu bangkit berdiri, melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Ia mengunci pintu rapat-rapat. Dengan kemarahan memuncak, ia melempar buku-buku pelajarannya. Ia tak berkata apapun untuk menyalurkan kemarahannya. Kini sikapnya telah mewakili segala perasaan dan isi pikirannya.
Tak hanya buku pelajaran, ia juga melempar piala, piagam, dan medali kejuaraan yang ia raih dengan perjuangan yang tidak mudah.
Apalah daya semua pencapaian itu, jika sang Mama tak pernah menghargai sedikit pun jerih payahnya? Mamanya hanya mementingkan hasil, tidak melihat proses panjang yang harus Clara raih agar bisa setara dengan orang lain.
Clara terus saja melemparkan piagam itu, bahkan beberapa diantaranya sudah hancur menjadi beberapa bagian. Tak peduli jika semuanya ia sudah rusakkan, hanya dengan cara ini emosinya bisa tersalur.
Napas Clara terengah, hingga tangan gadis itu terhenti melihat satu piala yang membuat aktivitas merusaknya itu berhenti. Tatapan gadis itu berubah, tidak setajam sebelumnya. Ia meraih piagam yang bertuliskan 'Clara Olivia, Juara 2 Olimpiade Biologi tingkat Nasional.'
Piala itu kini berada dalam genggamannya. Perlahan gadis itu melangkah mundur, hingga terduduk di tepi tempat tidurnya. Clara tertegun, piala itu kembali mengingatkannya tentang awal mula bertemu pemuda naif itu, di ajang olimpiade yang diselenggarakan di kota Padang.
Clara berjalan bersama beberapa teman satu sekolahnya memasuki tempat diselenggarakannya olimpiade di kota Padang.
Wajah Clara terlihat begitu dingin. Tapi, itu sama sekali tidak mengurangi pesona yang dimiliki gadis itu. Banyak siswa yang memandanginya dengan penuh kekaguman. Bahkan, banyak yang tidak ragu untuk melemparkan pujian pada gadis itu. Tapi, Clara tidak begitu memperhatikannya.
Sudah banyak peserta lomba yang hadir. Clara masih memilih diam bersama teman seperjuangannya. Ajang olimpiade ini bukan hanya ajang bagi Clara untuk membawa nama baik sekolahnya, tetapi juga membawa nama baik provinsinya, provinsi Kalimantan Selatan.
Walau jengah berada di tempat seramai ini, Clara masih berusaha mengumpulkan kesabarannya agar tidak melakukan kesalahan sekecil apapun di tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biology vs Diary
Teen FictionIni tentang Marko Nervada Sigit, yang bingung akan pilihannya sendiri. Marko siswa jebolan olimpiade biologi yang kadang punya otak 'fiktor', alias fikiran kotor yang tidak pernah sadar tentang rasa yang ia alami sendiri. Tak hanya Marko, Kimmy Waf...