Biologi vs Diary | 7

27 5 0
                                    

Clara menginjakkan kakinya di rumah baru yang ada di Jakarta. Ya, ia dan mamanya baru saja tiba dan sampai di kota Jakarta, bertolak dari pulau Kalimantan. Otomatis, Clara tak akan lagi bertemu suasana yang sama. Semuanya pasti akan berbeda, dan tentunya Clara harus beradaptasi agar tidak tertindas oleh kejamnya ibukota.

Mama sudah berjalan lebih dulu, sembari menyeret koper memasuki rumah baru. Clara masih diam menunggu. Matanya memperhatikan sekitar. Benar-benar berbeda. Belum satu jam ia ada di tempat ini, Clara sudah ingin kembali ke rumah di Kalimantan.

Menghembuskan napas pelan, Clara menarik kopernya dengan wajah lelah. Langkah Clara terasa begitu berat , ia tidak nyaman.

Bruk!

"ADUH!"

Pekikan yang lumayan nyaring itu berhasil menyentak Clara. Saking terkejutnya ia sampai menjatuhkan pegangan koper yang ia tarik sebelumnya. Clara mengerutkan kening. Ia berjalan perlahan mendekati seorang gadis yang baru saja terjatuh bersama belanjaannya.

Clara pun berdiri tak jauh dari gadis yang sibuk memunguti belanjaannya itu. Clara menggigit bibir, sebab bimbang. Ia ingin menolong, tapi ia tak tahu harus bagaimana. Apa ia harus membantu memungut belanjaan gadis itu, atau membantu gadis itu berdiri lebih dulu. Urusan seperti ini, tidak pernah Clara lakukan. Interaksi dan hal yang sifatnya sosial begini Clara benar-benar buruk.

Kedua mata Clara membulat kini, kala melihat gadis berponi itu sudah berdiri menenteng kantung berisi belanjaannya yang tadi sempat berserakan. Gadis berponi itu melemparkan senyum kepada Clara.

"Maaf yah, kak. Tadi belanjaan saya jatuh." Gadis berponi itu sedikit melirik ke arah belakang, lalu tersenyum lagi. "Oalah, jadi kakak tetangga baru di lingkungan ini."

Clara mengerutkan kening bingung. Bagaimana bisa gadis dihadapannya itu meminta maaf, padahal dia tidak bersalah? Lagipula, Clara yang seharusnya meminta maaf karena tidak membantu gadis itu, karena ia hanya menyaksikan kala itu.

Clara jadi berpikir, apa benar interaksi sosial, orang harus bertingkah cerewet dan juga harus banyak bicara?

Belum usai dengan pikirannya, Clara kembali dikejutkan kala gadis berponi itu menyodorkan salah satu tangannya kehadapan Clara. "Nama saya Kimmy, kak."

Clara terpaku memandang tangan gadis bernama Kimmy itu masih berada di udara. Haruskah ia membalas uluran tangan itu dan menjabat tangan Kimmy?

Sadar Clara tak kunjung membalas, Kimmy perlahan menarik tangannya. Tapi setelahnya, senyum Kimmy mengembang kala Clara ikut membalas uluran tangannya, meski gadis itu sempat ragu di awal. "Clara."

Keduanya saling melepas jabatan tangan. Kepala Kimmy mengangguk senang. "Oalah, namanya Kak Clara. Cantik, kayak orangnya, hehe."

Entah mengapa, dada Clara serasa menghangat kala mendengar pujian tulus dari Kimmy. Apalagi kilat berbinar yang gadis berponi itu tunjukkan, Clara merasa ketenangan kala melihatnya.

Kimmy menepuk pelan jidatnya. "Astaga, aku mau pulang dulu yah, kak! Rumahku disana, dekat kok. Yang cat rumahnya warna kuning. Kalau mau, kakak kesana aja. Dadah, kakak!" Tangan Kimmy melambai pelan sebelum berlalu meninggalkan Clara.

Ketika Kimmy sudah beranjak pergi, diam-diam Clara menggulum senyum. Kimmy itu baik juga. Dia orang kedua yang berani bicara cukup panjang pada Clara, tanpa rasa takut sedikitpun.

Menghembuskan napas dengan perasaan lebih lega, Clara kembali masuk ke rumah barunya. Sepertinya, hari-hari di Jakarta tidak akan begitu monoton.

*****





Marko mengerutkan kening mendapati dua remaja tanggung itu kini tertawa dengan wajah tersipu malu sembari memegang ponsel.

"Hoy bocil, liatin apa lo pada?", kata Marko sembari meminum jus jeruknya kala mendapati Aldi bersama temannya, yang Marko ketahui bernama Fadel duduk dan tersenyum bersama.

Biology vs DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang