Marko duduk di sofa ruang tamu dengan wajah sangat lelah. Pikirannya benar-benar kacau saat ia tidak melihat Kimmy masuk sekolah, karena alasan gadis itu sakit.
"Om pulang-pulang nggak ngucap salam. Huh, dasar ayam!" Aldi duduk di sofa yang posisinya tidak jauh dari Marko.
Tubuh yang lelah, dan pikiran yang berkecamuk sukses menghadirkan kekesalan di wajah Marko. Sebuah bantal sofa melayang dan mendarat tepat di wajah keponakan lelakinya itu. "Rasain lo!"
Aldi mengusap-usap pelan wajahnya yang baru saja terkena lemparan bantal. "Om Marko jahat!"
"Serah lo, bocil!" Marko tertawa dan memandangi Aldi. "Tumben lo nggak main tik-tok."
Mata Aldi melotot. "Om mau ikutan main tik-tok juga?"
Senyum remeh Marko terbit. "Lo aja sana yang main. Tapi, teman lo, adeknya si Kimmy, Fadel, kok nggak main kesini? Tumben. Biasanya hari ini dia mampir dan main bareng sama lo."
Wajah Aldi tiba-tiba terlihat begitu sendu. Bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan kesedihan yang sama sekali tak Marko ketahui apa sebabnya. Menelan saliva susah payah, Marko bangkit berdiri dan duduk disebelah Aldi. Bisa pecah perang dunia jika Miko tahu, jika Aldi bersedih. Tapi Marko sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan wajah Aldi berubah sedih seperti itu.
"Cerita deh, lo kenapa. Apa si Reemar Martin udah kawin? Atau lo nembak cewek tapi lo ditolak?", tanya Marko beruntun.
Aldi menggeleng. "Bukan masalah itu, om. Bahkan masalahnya lebih sedih dari itu."
Sebelah alis Marko terangkat, menatap Aldi menyelidik. "Masalah apa? Cerita aja, siapa tau gue bisa bantu. Jangan sedih, lah. Nanti bapak lo nge-pasung kepala gue. Bapak lo 'kan galak!"
"Bapaknya Fadel masuk rumah sakit, kak...."
Tubuh Marko membeku, saat Aldi mengatakan hal yang terjadi pada sahabatnya itu. Firasatnya mengatakan hal yang benar, sejak awal memang ada sesuatu yang terjadi pada Kimmy, hal yang tidak beres.
Mengusap wajahnya perlahan, Marko bangkit berdiri. "Bokapnya Fadel dirawat di RS mana? Habis makan kita kesana."
"Beneran, om?", tanya Aldi memastikan.
"Iya, lo siap-siap aja."
*****
"Lo yakin kan kalau bokap mereka dirawat disini?", tanya Marko memastikan.
Aldi berdecak. "Aldi belum pikun yah, om! Lagian om nanya ribuan kali."
Marko melengos kesal. Matanya berpencar mencari nama ruang rawat tempat dimana ayah Kimmy dan Fadel dirawat. "Tadi lo bilang di ruangan no. 24, kan?"
"Iya, om."
Keduanya melangkahkan kaki dengan cepat. Berharap mereka bisa segera sampai ke ruangan no. 24.
"Om! Itu Fadel, om!" Aldi sudah berlalu lebih dulu, menghampiri Fadel yang duduk dengan begitu lesu di depan ruang rawat ayahnya. Marko tidak mencegahnya, membiarkan dua orang bersahabat itu saling berbicara.
Marko terfokus pada sosok Kimmy yang duduk dengan kepala menunduk di salah satu kursi yang berada tepat di dekat ruang rawat.
Dengan langkah pelan, Marko berjalan ke arah Kimmy yang sama sekali belum menyadari kedatangannya bersama Aldi. Marko memandang kearah Aldi dan Fadel, yang sudah berbincang panjang lebar. Bahkan Fadel sudah bisa tertawa pelan karena mengobrol dengan Aldi. Pandangan Marko kembali kepada Kimmy, gadis itu masih saja menundukkan kepala. Bahunya bergetar pelan, suara isakannya terdengar. Diam. Hanya itu yang dilakukan Marko selama beberapa waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biology vs Diary
Teen FictionIni tentang Marko Nervada Sigit, yang bingung akan pilihannya sendiri. Marko siswa jebolan olimpiade biologi yang kadang punya otak 'fiktor', alias fikiran kotor yang tidak pernah sadar tentang rasa yang ia alami sendiri. Tak hanya Marko, Kimmy Waf...