Dengan langkah perlahan dan tubuh sedikit gemetar, Kimmy berusaha melangkahkan kakinya, di tempat dimana ayahnya tengah berjuang antara hidup dan mati. Bau obat-obatan menyengat begitu kuat, membuat Kimmy beberapa kali menahan napas karena bau itu membuat kepalanya pusing.
Terakhir kali ia berkunjung di rumah sakit ini dua minggu yang lalu. Rasanya ia rindu ingin berbicara dengan sang ayah, walau pada kenyataannya Kimmy hanya kembali mendengar suaranya sendiri, ayahnya masuk betah dengan tidur panjangnya.
Napas Kimmy tertahan, tenggorokannya tercekat, dan dadanya sesak. Reaksi yang selalu ia rasakan kala bertandang di rumah sakit, tempat sang ayah dirawat.
Kimmy berdiri tepat di depan pintu kamar sang ayah. Gadis itu menggigit bibir kuat. Tangannya menyentuh kaca pintu kamar sang ayah. Tangisnya pecah begitu saja. "A...yah...Kimmy kangen..."
Selalu seperti ini, berakhir dengan gemuruh sesak dan air mata mengalir. Kimmy merapal doa agar sang ayah bangun dari koma. Selalu menyelipkan pertanyaan, apakah sang ayah tak lelah memejamkan mata? Tak rindukah ia pada tiga anak dan juga istrinya?
Dengan pandangan buram, Kimmy masih bisa melihat alat-alat medis itu masih melekat pada tiap bagian tubuh sang ayah. Alat medis penopang hidup ayahnya. Sedang monitor itu memperlihatkan detak jantung ayah yang masih lemah.
Kejadian kecelakaan itu sudah terjadi enam bulan yang lalu. Kimmy rapuh tanpa sosok sang ayah. Kepada ayah Kimmy begitu banyak membagi cerita dan segala keluh kesahnya.
Selain keluarga, tak ada siapapun yang tahu perihal ini. Sekalipun itu Ester, Lovely, dan Venus, teman sekelas yang dekat dengan rumahnya, Kimmy mati-matian menyembunyikannya. Ia tak mau dikasihani, sekalipun oleh temannya sendiri.
Berhubung dengan kata 'kasihan', kembali membawa Kimmy pada ingatan bagaimana ia dan Marko berselisih hebat usai seleksi tes olimpiade.
Rasa bersalah itu hadir lagi. Perkataannya pada Marko sangat kasar. Kimmy juga terkejut, karena pertama kali melihat sisi gelap dari pemuda itu. Marko bisa menunjukkan wajah yang penuh dengan kilatan amarah, dan juga bisa berbuat kasar.
Ini bukan sepenuhnya kesalahan Marko. Ia yang memancing membuat bangkit emosi pemuda dengan wajah yang selama ini terlihat tenang.
Menyeka air matanya kasar, Kimmy memilih duduk di kursi tunggu di depan ruang rawat sang ayah. Ia merogoh tasnya dan mengambil ponsel dari sana. Tangannya nampak sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
Personal Chat | Marko Nervada Sigit
Kimmy: Marko, soal di sekolah tadi, gue beneran minta maaf. Gue nggak bermaksud menyinggung perasaan lo dengan kata-kata kasar.
Menghembuskan napas panjang, Kimmy menonaktifkan ponselnya dan memasukkan kembali ke dalam tas. Setelahnya, ia kembali bangkit dan menatap tubuh ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Kimmy pun kembali larut dalam keluh kesannya, tak henti menunggu keajaiban jika ayahnya bisa membuka kedua matanya lagi.
*****
Marko tak hentinya tersenyum sejak tadi. Mengingat pertemuannya dengan Clara dan bisa mengobrol dengan kakak kelasnya itu, merupakan satu kebahagiaan tersendiri bagi Marko.
Apalagi, ia dan Clara sempat bertukar nomor ponsel. Awalnya Marko pikir Clara akan menolak mentah-mentah. Tapi kakak kelasnya itu yang meminta nomornya lebih dulu, barulah Marko meminta nomor ponsel sang kakak kelas.
Marko tersenyum lebar memandangi kontak Clara. Rasanya ingin mengirimkan pesan pada Clara. Jari Marko tiba-tiba gatal saja rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biology vs Diary
Teen FictionIni tentang Marko Nervada Sigit, yang bingung akan pilihannya sendiri. Marko siswa jebolan olimpiade biologi yang kadang punya otak 'fiktor', alias fikiran kotor yang tidak pernah sadar tentang rasa yang ia alami sendiri. Tak hanya Marko, Kimmy Waf...