Bonus Chapter

4.3K 296 43
                                    

"Appaaa!"

Jimin buru-buru keluar dari dapurnya ketika mendengar teriakan Taeyong.

"Astaga, ada apa lagi?" Dilihatnya Jeongguk sedang terkikik geli disamping Taeyong. Hoseok yang ada disana hanya menggelengkan kepalanya, terlalu sering mendapati situasi seperti ini.

"Jeongguk menggangguku terus-terusan! Appa harus memarahinya sekarang."

Jimin mendenguskan nafasnya lelah, remaja seusia mereka memang sangat menyita kesabarannya.
"Jeongguk, apa yang kau lakukan lagi hm?"

"Aku hanya bercanda dengannya, tapi dia tak terima dan mengadu. Bukankah itu kekanakan sekali, appa?"

"Kau bilang itu bercanda!? Kau membuatku malu!"

Hoseok yang sedari tadi diam ikut mengeluarkan suaranya.
"Jeongguk, apa yang kau katakan pada saudaramu ini?"

"Aku hanya bilang padanya untuk mengurangi intensitas menggoda guru-guru tampan disekolah. Itu saja."

"Appa, ayah.. Aku tidak pernah menggoda siapapun! Aku hanya memuji ketampanan mereka, itu saja."

"Masalah kali ini kau yang urus. Aku akan lanjut masak.." Jimin menyuruh Hoseok untuk memenangkan kedua remaja berusia 17 tahun ini. Kepalanya bisa pecah jika tiap hari mereka bertengkar terus seperti ini.

Kala malam menyambut, Jeongguk dan Taeyong akan tidur bersebelahan. Obrolan kecil sering menjadi penghantar tidur mereka.

"Kau rindu mama papa, tidak?" Tanya Jeongguk.

"Pasti. Tiada hari tanpa merindukan mereka, apa itu terdengar konyol ketika kita merindukan orang yang bahkan tidak pernah kita temui?"

Jeongguk menggeleng, tangannya menyentuh lembut lengan sang adik.
"Tidak konyol, tapi bukankah itu sia-sia?"

Taeyong menatapnya tak setuju.
"Hei! Aku adukan ke ayah kalau kau bilang begitu!"

"Dengarkan aku, bodoh."

Jeongguk melanjutkan.
"Menurutmu rindu itu apa?"

"Rindu? Tentu saja perasaan ingin bertemu terhadap sesuatu atau seseorang yang telah lama tidak bertemu."

"Nah.. Bukankah sia-sia saja jika kita rindu? Setiap hembusan napas, aliran darah bahkan detak jantung ini.. semuanya berasal dari mama dan papa. Ada mereka di dalam diri kita, untuk apa rindu jika setiap detiknya kita merasakan kehadiran mereka. Aku tak mau menyebut ini rindu, karena sejatinya rindu itu menyesakkan."

"Jadi kau sebut apa perasaanmu itu?" Taeyong dibuat penasaran jadinya.

"Cinta.. Apa yang kualami ini cinta. Ketika kau ingin terus merasa dekat, dan ketika kau sadar bahwa yang dicinta jelas ada didekatmu kau akan merasa bahagia. Papa mama benar-benar ada di dekat kita, mereka mengisi ruang hati kita. Aku tidak merasa sesak ketika mengingat mereka, tidak pula berkecil hati karena tak pernah bertatap muka. Yang kurasakan tiap mengingat mereka adalah rasa bahagia dan bersyukur, karena mereka ada di setiap degup jantungku."

"Jeongguk.."

Kepalanya mengarah ke samping, melihat sang adik yang tampak serius menatapnya.

"Yang kau katakan terdengar puitis, walaupun aku tak mengerti maksudmu."

Bukk

Jeongguk melempar bantal tersebut kearahnya. Taeyong yang tak terima justru melempar balik bantal tersebut, dan seperti yang seharusnya terjadi—perang bantal.

"Anak-anak! Apa itu!?"

Keduanya langsung panik ketika suara teriakan Jimin terdengar. Langsung masuk ke dalam selimut dan menutup mata, berjaga-jaga kalau nanti Jimin memeriksa apakah mereka sudah tidur.

Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa si kembar sudah memasuki jenjang perkuliahan. Jika Jeongguk tertarik dalam bidang seni, maka Taeyong lebih tertarik ke jurusan fashion design. Jimin dan Hoseok sengaja memilih universitas yang sama untuk mereka agar lebih menghemat ongkos ketika mengantar jemput mereka.

"Ayolah, Yah. Kami sudah dewasa, tidak perlu diantar seperti ini."

"Mau kalian jadi kakek-kakek juga ayah akan tetap mengantar jemput kalian jika masih memungkinkan." Mereka berdua turun dari mobil, melangkah masuk ke gerbang universitasnya, hari ini adalah hari pertama mereka menjalani masa pengenalan kampus sehingga tidak boleh diantar masuk.

"Jeongguk.."

Ia langsung membalikkan badannya, menatap sang ayah yang memanggilnya tadi.

"Jaga adikmu."

Jeongguk mengangguk mengiyakan, tanpa ayahnya suruh juga ia pasti akan menjaga adiknya.

"Taeyong.."

Taeyong menghentikan langkahnya, berbalik ke belakang menghampiri ayahnya.

"Apa, Yah? Menjaga Jeongguk? Baik, aku akan menjaganya."

"Bukan itu."

"Apa? Lalu?"

"Parfummu berlebihan, make up mu terlalu mencolok, pakaianmu juga sangat ketat. Astaga, kenapa tadi ayah tidak menyadarinya."

Taeyong mencoba tak mendengarkannya. Berlari masuk meninggalkan sang ayah untuk mengejar kembarannya.

°○°○°○°

"Hikss.. Kau pergi meninggalkan appa dan ayah. Setelah Taeyong, sekarang kau yang pergi." Jimin menangis begitu pilu, ia tak sanggup menerima semua ini.

"Sayang, jangan menangis terus. Kau tak mau melihat betapa tampannya anak kita di altar?" Hoseok menunjuk Jeongguk yang tengah berdiri gagah menunggu mempelainya datang.

"Hiks, mana Taeyong?" Seingat Jimin tadi anak itu ada didekat mereka.

"Ah, itu dia!" Hoseok menunjuk Taeyong yang tampak membujuk kedua anak kecil disana.

"Hahaha, lihatlah dia. Dulu dia yang paling manja dirumah, sekarang dia harus kerepotan menjaga kedua anaknya." Jimin tertawa melihatnya.

Tak lama seorang pria menghampiri Taeyong, menggendong salah satu anak kecil itu dan melingkarkan tangannya di pinggang Taeyong. Mereka tampak berjalan ke arah Hoseok dan Jimin.

"Lihat. Appamu tadi menangis karena kakakmu menikah."

Taeyong menggelengkan kepalanya, tak percaya melihat betapa emosionalnya sang appa.
"Aku masih ingat ketika appa menangis saat pernikahanku dan pingsan saat aku melahirkan."

"Jangan dibahas lagi.." ucap Jimin tak terima, jujur ia malu ketika mengingatnya.

"Appa.. Jangan cemberut seperti itu, lagipula apa yang disedihkan? Rumahku kan tak jauh dari rumah appa, ah rumah baru Jeongguk juga tepat disebelah rumah appa. Tak ada yang pergi, kami tetap ada didekatmu." Taeyong memeluk erat Jimin, fakta bahwa Jimin dan Hoseok bukan orangtua kandungnya tak melunturkan sedikitpun rasa sayangnya terhadap dua orang ini. Mereka bahagia, sangat bahagia dapat merasakan kasih sayang yang begitu tulus dari Jimin dan Hoseok.

Tak harus punya ikatan darah untuk bisa jadi keluarga, itulah yang terlihat jelas dalam keluarga ini. Selalu ada bahagia yang mereka  rasakan setiap hari, persoalan kecil yang menjadi lucu ketika diperbincangkan, pembicaraan saat makan yang mengundang tawa mereka, bahkan saat-saat mengharukan seperti ini juga mengandung kegembiraan didalamnya.

“What can you do to promote world peace? Go home and love your family.” –Mother Teresa

One More Time (Kookv/Kooktae)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang