#Makan malam

118 5 0
                                    

" Aku yang memutuskannya, tapi kenapa aku juga yang menyesalinya? Kamu tahu, sesaat setelah aku mengucapkan salam itu, aku memutuskan untuk bersahabat dengan air mata. Iyaa... Salam perpisahan, dimana hari itu aku layak dipanggil pecundang.

Andai kamu tahu, aku bahkan kini tumbuh menjadi seorang pria yang mudah menyerah dan berpasrah pada keadaan. Semua mimpiku hampir terwujud, tapi semuanya tak lagi berarti tanpa hadirmu. Aku tak membayangkan akan separah ini akhir dari keputusanku.

Kamu benar, aku menyesal karena tak mengucapkan kalimat itu sejak awal. Sekali lagi, aku akan meminta ijin pada semesta...
Doakan aku Wi, agar semua komponen semesta memberkatiku dan mengiringi langkahku berjalan menemuimu... "

Itu adalah penggalan ungkapan hati seorang pria yang hidupnya berdampingan dengan rasa penyesalan. Semula ia pikir, semuanya tak akan sesakit ini. Semua akan baik-baik saja pada waktunya, namun waktu itu tak kunjung menghampirinya dan kini ia justru terjebak dalam rasa penyesalan yang tak ada habisnya dan terasa begitu menyiksa. Mungkin yang ia rasakan saat ini, yang sebagian orang sebut dengan karma. Rasa sakit sedang dibalas dengan rasa sakit pula.

Entah, sudah beribu-ribu kata yang ia susun dan ia rangka menjadi kalimat penyesalan yang ujungnya entah di mana. Salah satu alasan ia ingin menjadi seorang penulis adalah karena ia tak memiliki pendengar yang baik dalam hidupnya. Ia mencurahkan segala isi hati dan kepalanya dalam sebuah permukaan halus yang di sebut dengan kertas. Tak jarang, ia menuangkannya di laptop. Tapi, ia merasa lebih puas menuangkan perasaannya pada sebuah kertas dan tangan yang dengan lihai menggerakan pena.

Bertahun-tahun ia mencari keberadaan gadis itu, setelah gadis itu pergi dan memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya. Sepertinya, rasa sakit yang membawanya sampai sejauh itu. Dan rasa penyesalan pula yang membawa Wahid sampai ke tempat pelarian gadis itu. Mereka sudah dekat, tapi kenapa bumi tempatnya berpijak belum mengijinkan mereka bertemu? Apa memang tak ada lagi kesempatan untuk Wahid memperbaiki semuanya? Setidaknya hanya untuk mengucapkan maaf, atau mengucapkan kata yang dulu sempat tertunda.

" Belum tidur bang? " suara Kevin membuyarkan lamunan Wahid. Dengan sigap, ia segera menyembunyikan buku dan penanya di bawah bantal, bisa gawat kalau adiknya itu sampai tahu apalagi membacanya.

" Belum. Kamu juga ngapain belum tidur? Besok sekolahkan? " Wahid terlihat santai duduk bersila,ia tak merubah posisinya sejak awal. Kevin menghampiri Wahid dan tanpa ragu duduk di sampingnya.

" Iya bang besok sekolah. Tapi, Kevin belum ngantuk," ucap Kevin sambil membaringkan badan dengan kedua tangannya di taruh di bawah kepala sebagai bantal.

" Ini udah jam 2 pagi. Sana balik kamar, tidur," Wahid geleng-geleng kepala saat melihat adiknya itu justru terbaring di ranjangnya. Bukan berbaring di ranjangnya yang menjadi masalah, tapi besok anak itu harus sekolah, dan itu yang menjadi masalahnya. Wahid tak menjamin besok pagi adiknya itu akan bangun dan berangkat sekolah. Ia pasti akan bolos dengan alasan kesiangan karena tidur begadang. Bukan sekali dua kali ia seperti itu, sudah sering. Tapi ini yang paling parah, karena sampai jam 2 pagi ia belum juga tidur.

" Di bilang gak bisa tidur. " balas Kevin sedikit sewot.

" Gimana bisa tidur, kalau kerjaan kamu main ps mulu, " Wahid melipat tangannya di dada dan menghadap Kevin dengan wajah serius. Bukan berusaha menakut-nakuti, karena seseram apapun ekpresi Wahid, Kevin tak akan pernah takut pada kakaknya itu.

" Kevin udah berhenti main ps dari jam 10 bang. Terus mau tidur, ehh gak bisa tidur," Kevin memandang langit-langit kamar tak kalah serius. Pikirannya benar-sedang sedang terganggu.

" Bang Wahid juga belum tidur, " lanjut Kevin dengan beralih menatap Wahid. Tak siap dengan ucapan Kevin, Wahid sedikit gelagapan untuk mencari alasan.

The Curse of First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang