#Pohon Ketapang

99 5 0
                                    

Tak ada yang baik-baik saja pagi ini. Sepertinya, masalah memang selalu melekat pada gadis berusia dua puluh tiga tahun itu. Semuanya diperumit oleh permintaan ayahnya yang dirasa cukup berat baginya. Memperkenalkan pria itu pada ayahnya? Itu berarti ia harus membawa pria itu ke rumahnya? Windu sama sekali tak malu dengan kondisi keluarganya yang memang sangat sederhana, tapi yang membuat ia bimbang, apakah setelah mereka dipertemukan pria itu akan menerima Windu? Keluarga Windu sangat jauh jika disandingkan dengan keluarga pria itu. Windu tak ingin peristiwa kelam masa lalu terulang lagi, meski kali ini ia tak melibatkan hati.

Untuk saat ini, ia enggan berhubungan dengan seorang pria dengan melibatkan hati. Terlalu berat resikonya. Selain karena bayang-bayang masa lalu yang masih sering menghampirinya, ketakutan terbesarnya adalah kembali mendengar tangisan dari kedua orangtuanya. Sudah cukup tangisan semacam itu hanya Windu dengar sekali seumur hidupnya. Ia bahkan rela dirinya dicabik-cabik, perasaannya dihancurkan, dan hidupnya dipermalukan, tapi tidak dengan orangtuanya. Apapun yang menyangkut tentang kedua orangtuanya, Windu akan selalu berada di garda terdepan.

Pagi ini, Windu sama sekali tak ada semangat untuk berangkat kantor. Ia kehilangan gairah, energi dan moodnya secara bersamaan. Dijemput Adit adalah rutinitas barunya setiap pagi. Ia selalu mengawali paginya dengan senyuman hanya karena paginya disambut dengan hangat oleh pria itu. Mungkin tidak untuk pagi ini. Membayangkan bagaimana wajah Adit nanti saat menyambutnya saja sudah membuat Windu ngeri. Belum lagi saat ia dicerca oleh banyak pertanyaan, argggggghhhh... Sungguh, itu membuat Windu semakin frustasi.

Windu menghentikan langkah tepat di persimpangan jalan yang hanya berjarak beberapa meter dari gang utama rumahnya. Ia mulai berpikir sejenak.

" Semoga keputusan aku kali ini gak salah, " batin Windu mencoba memantapkan hatinya. Ia memang selalu bermasalah dalam hal mengambil keputusan.

Dengan langkah pasti, Windu mulai kembali mengayunkan kakinya, melangkah menuju tempat yang ada di pikirannya.

Membuat orang menunggu lama dengan sengaja itu sangat tidak baik. Windu tahu sendiri bagaimana rasanya. Bosan, jengkel, marah semuanya jadi satu. Meski tak semua menunggu itu membosankan, menunggu giliran dihukum mati misalnya. Orang yang diberi hukuman itu lebih senang dengan kebosanannya dibanding harus bertemu dengan hari di mana ia harus dieksekusi. Ia akan meminta waktu lebih lama untuk menunggu. Jadi, menunggu tak selamanya semembosankan itu.

***
Jarum jam sudah menunjuk pada angka 7. Tidak biasanya gadis itu datang setelat ini. Biasanya, ia akan datang sebelum jam tujuh atau setidaknya ia akan memberi kabar jika ia akan terlambat dengan alasan tertentu. Tapi kali ini, sama sekali tak ada kabar darinya. Sudah beberapa kali Adit mencoba menghubunginya tapi nomor gadis itu justru tidak aktif. Apa ponselnya mati? Atau gadis itu enggan bertemu dengannya? Tapi kenapa? Apa ia takut karena kebohongannya terbongkar? Sungguh,pertanyaan-pertanyaan semacam itu membuat Adit frustasi. Ia tahu Windu bukan seorang pengecut, gadis itu tak mungkin menghindar hanya karena hal semacam itu. Adit juga tak berniat memarahinya atau menginterupsinya, ia hanya menginginkan sebuah penjelasan. Ia akan mendengarkan apapun alasan gadis itu.

" Kemana kamu Ndu? Apa kamu takut kepadaku? Aku tak akan memarahimu, percayalah, " oceh Adit yang sudah berada di dalam mobil mewahnya. Hampir satu jam ia berdiri, bersender pada sisi mobilnya.

Dari kejauhan, mata coklat Adit menangkap seseorang yang ia kenal sedang berjalan dengan sangat terburu-buru. Gadis itu bukan lagi sedang berjalan, tapi sedang berlari-lari kecil lebih tepatnya. Mungkin ia sedikit kesulitan karena alas kaki yang ia pakai sangat tidak mendukungnya untuk berlari. Adit segera menurunkan kaca pintu mobilnya, dan sedikit mengeluarkan kepalanya dari sana.

" Feby. "

***
Seorang gadis duduk pada sebuah ayunan karet yang terbuat dari ban truck yang talinya dikaitkan pada sebuah dahan pohon ketapang yang kokoh. Ia cukup duduk, tak memainkan ayunannya. Memandang kearah barat, menanti detik-detik piringan surya tenggelam dari cakrawala, untuk kembali pulang,mempersiapkan tidur pulasnya.

The Curse of First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang