Inti dari sebuah mencintai yang sesungguhnya adalah dengan membuatnya tersenyum. Saat ia mulai mengembangkan senyumnya, saat itu pula aku selalu merasakan getaran-getaran yang bahkan mampu membekukan sistem syarafku. Senyuman itulah awal mula perasaan kagum itu muncul dan berujung membuatku mengenal apa itu cinta. Senyuman itu adalah penyemangat dalam hidupku. Tak pernah bosan aku memandang senyumnya, bahkan sering kali aku mencuri pandang hanya untuk melihatnya. Hari-hariku yang awalnya cukup suram, perlahan-lahan mulai mengenal sebuah warna. Senyum itu mengembang layaknya bulan sabit. Kilaunya memancar memberikan keindahan sekaligus ketenangan. Senyuman itu juga yang menjadi alasan untukku keluar dari persembunyian, yang selama ini mendidikku menjadi seorang pengecut. Senyum itu adalah milikku. Mulai dari saat pertama kali aku melihatnya sampai selamanya, senyum itu akan tetap jadi milikku.
Aku kembali Wi... Aku sudah kembali. Dan aku berhasil menemukanmu. Sejak awal aku sudah menduga, kita masih saling tarik-menarik dan memang selamanya akan seperti itu. Karena takdir kita memang untuk bersama.
Tapi, kenapa kau tak terlihat bahagia bertemu denganku lagi? Kenapa kau tak menyambutku ramah? Kemana senyuman yang sangat kurindukan itu pergi? Di mana kau menyembunyikannya? Jangan bilang, senyuman itu kini sudah jadi milik orang lain.
Dan sungguh, apa yang keluar dari mulutmu hari ini, benar-benar menyakitiku. Akan kupastikan, aku segera bangun dari mimpi burukku ini.
Aku sudah kembali... Dan itu artinya, aku akan benar-benar membuat senyuman itu menjadi milikku seutuhnya.
Hari sudah mulai gelap. Berbagai suara binatang malampun mulai saling bersahut-sahutan. Dan suara jangkrik yang paling mendominasi. Kemudian diikuti oleh suara tokek dan hewan malam lainnya. Angin malam juga memberikan sensasi dingin dibanding menyejukkan. Lampu taman berbentuk bulat seperti bola bersinar terang mengelilingi aliran sungai yang mengalir sepanjang kota itu. Beberapa pedagang kaki lima juga terlihat menjajakan dagangannya di pinggiran sana.
Wahid memijit-mijit kepalanya dengan tubuh bersender pada pohon ketapang. Ia duduk pada sebuah batu besar yang disusun rapi di pinggiran sungai yang arusnya terlihat cukup tenang. Tak seperti sungai di ibu kota yang sangat kotor dan kumuh, sungai di sini begitu sangat bersih,jernih juga terawat. Bahkan seringkali dijadikan lokasi pariwisata gratis bagi warga sekitar karena tak jauh dari sana juga terdapat taman asri.
" Arrrggggggghhhhhhhhhhhhhhh... "
Wahid berteriak sekencang-kencangnya. Meluapkan segala emosi dan kekesalannya yang saat ini sudah sampai pada puncak ubun-ubunnya. Bodo amat jika ada orang yang mendengarnya, ia sama sekali tak peduli. Ia hanya ingin menumpahkan semuanya.
Ia sebenarnya tak cukup kuat jika harus berhadapan dengan yang namanya hati. Ia selalu lemah dengan itu.
Dulu, ia merasakan betapa sakitnya saat gadis itu tiba-tiba menghilang dari hidupnya. Menyetujui kesepakatan konyol itu sekaligus awal dari kehancurannya.
Namun, sejauh apapun gadis itu melarikan diri darinya, ia sudah berjanji untuk menemukannya. Dan hari ini, ia menepati janjinya. Ia bertemu kembali dengan pemilik senyum indah itu. Namun, apa yang ia dapatkan? Sebuah kenyataan pahit dan memilukan menyambut kedatangannya. Ia bahkan dicampakkan, dan rupanya telah digantikan oleh pria lain.
Tapi semua belum terlambat. Miliknya akan tetap jadi miliknya. Persetan dengan perjodohan yang yang kini telah mengikat dirinya. Ia sudah muak selalu mengalah dan mengorbankan dirinya bahkan kebahagiaannya juga sampai ditumbalkan. Ia ingin mengakhiri penderitaannya dan menyambut bahagianya. Dan bahagianya ada pada senyuman gadis itu.
" Maaf Wi... Maafkan kebodohanku dulu, " ucap Wahid sambil berusaha menahan air matanya agar tak sampai jatuh membasahi pipi. Namun, usahanya gagal. Bayang-bayang saat gadis itu dulu menangis karenanya, tiba-tiba berkeliaran di kepala. Ia menangis dengan disaksikan bulan beserta bintang sekaligus ditemani dinginnya angin malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse of First Love
Romance" Ahhh yaaa... Hampir saja aku lupa, meski kamu adalah cinta pertamaku, tapi itu bukan berarti kamu adalah cinta terakhirku. " Dan ini kisahku, Windu Raeswara.