#Blooming

81 5 0
                                    

Saat kembali manjadi hal yang sangat menakutkan. Semua skenario yang sudah dirancang sedemikian rupa, seketika berubah. Ternyata, semua itu tak semulus yang dibayangkan. Saat ini, sosok itu bukan lagi hanya bayangan,melainkan nyata. Perasaan yang sudah terkubur, sedang mencoba untuk kembali bangkit. Memori yang sudah terpendam, kini mulai berusaha mencuat lagi ke permukaan. Semua benar-benar di luar prediksi. Kembali dan kemudian menumpahkan lagi memori-memori menyakitkan itu menjadi hal yang sangat mengerikan. Karena efeknya sungguh luar biasa, dapat menghentikan tujuan hidup yang sudah dirangkai sempurna. Semua itu adalah resiko dari kembali. Dan untuk apa kembali jika tak disertai dengan hati? Ingin mengulang semuanya lagi? Atau hanya ingin bertegur sapa pada hati yang selalu dirundung sepi, dan kemudian menertawakannya dengan sesuka hati.

" Bukankah sudah kubilang, aku hanya ingin menatap, bukan bertegur sapa. Aku hanya ingin menatapnya dari jauh, karena aku tahu pertemuan efeknya akan lebih menyakitkan dan itu terbukti sekarang, " Windu berucap pelan sambil menatap intens ke arah hamparan langit yang berhambur bintang di atas sana.

" Bulan, bahkan kau dengan bangganya mengembangkan senyum melihatku menderita seperti ini. Dan bintang, kenapa kalian seolah-olah mendukung bulan? Kalian bahagia melihatku rapuh seperti ini? " omel Windu yang masih menatap langit malam dari jendela kamarnya. Ia mengerucutkan bibirnya, sebal.

Ramai. Iya... Kali ini langit ramai akan kerlap-kerlip bintang yang letaknya saling berdekatan satu sama lain, seolah tak mau terpisah. Bulan sabit juga dengan cerahnya mengembangkan senyum yang sukses membuat gadis cantik berambut panjang itu berdecak sebal. Bagaimana bisa seisi langit juga seakan-akan ikut menertawakannya? Andai bulan bisa ngomong, pasti ia akan meledek Windu sembari menjulurkan lidahnya.

Mata Windu beralih menatap pot bunga anggrek yang letaknya tak jauh dari jendela kamarnya. Ia merasa jengah terus menatap hamparan luas itu yang kini seolah-seolah sedang merayakan kesedihannya. Windu menggeserkan tubuhnya agar lebih dekat dengan pot itu kemudian menundukan tubuhnya agar sejajar dengan tinggi bunganya. Ia membelai lembut permukaan kelopak bunga yang seakan-akan bersinar akibat pantulan dari sinar bulan. Ada yang aneh. Kenapa bunga itu masih tumbuh subur sedangkan Windu jarang sekali menyiram dan menaburinya pupuk? Kenapa bunga itu tak layu dan mati?

" Jadi benar Blooming, yang mengirim kamu ke sini itu dia? Kenapa kamu mau diantar ke sini? Kenapa nggak nolak? Dan sekarang, katakan aku harus bagaimana? Membuangmu? Apa aku terlihat sejahat itu? " jari Windu tak berhenti bergerak. Ia masih betah membelai permukaan lembut itu. Kalau saja Feby tahu kelakuan Windu saat ini, yang sibuk mengomel pada bunga, ia pasti akan langsung membawa temannya itu ke dukun.

Hmmmmm.... Windu mengambil nafas dalam-dalam.

Ia tak menyangka, pria itu akan benar-benar membuktikan ucapannya. Windu merutuki dirinya sendiri karena dulu mengajukan permintaan konyol semacam itu. Jadi, sepenuhnya memang bukan salah pria itu. Pria itu hanya sedang menepati janjinya. Dan itu seharusnya sesuatu yang wajar. Tapi ia tak tahu, jika perbuatannya itu dapat meruntuhkan hati seseorang.

Windu membuang nafas berat, " tenang saja, aku tak akan membuangmu. Kamu tak bersalah, Blooming, " ucap Windu yang kini kembali pada posisi awalnya, memandangi hamparan luas dengan benda-benda berkilauan di atas sana.

Serangkaian peristiwa hari ini benar-benar membuatnya muak. Dimulai dari pertemuannya dengan Reza yang membuatnya jadi terjebak dalam situsi sulit. Berlanjut pada Adit yang tiba-tiba datang dan melamarnya. Dan itu sangat membuat Windu kaget setengah mati, karena seorang Adit Narendra bisa dikatakan sangat mustahil melakukan hal seperti itu. Mereka memang bisa dibilang sudah dekat, tapi tak ada pembicaraan apapun tentang pernikahan. Bahkan hubungan mereka juga tak lebih dari sekedar teman dekat, karena Adit sama sekali tak memberi kepastian pada Windu. Dan yang paling mencengangkan adalah, kehadiran Wahid. Pria itu kembali berdiri di hadapannya. Manik mata itu menyorot dengan sempurna dan tak ada yang berbeda dari dulu. Di sanalah sumber ketakutan Windu. Ia takut tenggelam lagi dalam gelombang arus kuat yang menarik kesadarannya, membuatnya larut kemudian melebur dan enggan untuk beranjak. Itu sangat berbahaya. Jika hal itu terjadi lagi, mungkin saat itu Windu tak akan bisa lepas. Ia akan menetap di sana, dan resikonya adalah air mata.

Namun, peristiwa yang paling membuatnya jengkel adalah saat ayahnya tiba-tiba memberondonginya dengan banyak pertanyaan seputar bunga anggrek biru yang ada di kamarnya. Windu tak jengkel pada ayahnya, melainkan pada Feby. Meskipun temannya itu sudah menjelaskan kalau ia keceplosan dan tidak mengetahui tentang larangan ayahnya, atau dengan kata lain Feby tak sengaja, namun Windu tetap jengkel padanya. Karena hidupnya jadi bertambah rumit sekarang. Untuk membuat Wahid dan Reza pulang saja ia membutuhkan kesabaran yang ekstra, dan juga ancaman tentunya. Dan saat ia sampai di rumah, ayahnya sudah menyambut dengan tatapan mengintimidasi,seperti biasa. Dan di sampingnya, duduk Feby dengan wajah menunduk dan Windu yakin ada yang tidak beres. Dan jeng jeng... Benar tebakannya. Arggghhhh... Ingin pecah rasanya kepala Windu. Ia harus mempersiapkan mental untuk menghadapi hari-hari ke depannya. Hari-harinya pasti akan jauh lebih berat setelah serentetan peristiwa yang di alaminya hari ini. Di rumah ia harus menghadapi sikap dingin ayahnya dan di kantor... Windu tak bisa membayangkan bagaimana hari-harinya akan berjalan di sana. Adit pasti tak akan membuatnya hidup tenang.

Berbicara tentang Adit, Windu masih bingung dengan sikap Adit itu. Apa yang ia lakukan tadi jelas terlihat karena sebuah keterpaksaan. Ia terlihat sedang melakukan sesuatu yang sama sekali tak ia rencakan. Tapi kenapa? Kenapa Adit melakukan itu?

" Aku pernah hidup tanpa sebuah penerimaan, kamu tahu betapa sakitnya itu? Dan aku nggak mau itu terulang kembali. Luka yang dulu saja masih membekas meski aku sudah  sekuat tenaga menyembuhkannya, apa aku juga harus menerima luka baru lagi? Sudah jelas tidak. Aku mungkin memang mengagumimu, tapi itu bukan berarti aku mencintaimu. Aku memang sedang mencoba membuka hati untukmu, tapi bukan berarti kamu sudah menempati ruang di hatiku. Maaf... Sekali lagi maaf Dit. "

Windu ingin sekali mengatakan hal sebanyak itu pada Adit. Agar pria itu tahu kalau yang Windu butuhkan saat ini adalah sebuah ketulusan dan penerimaan. Ia menginginkan sesuatu yang sebelumnya tak bisa ia dapatkan dari cinta pertamanya. Dan ternyata, Adit juga tak bisa mempersembahkan dua hal itu untuknya. Tapi, di depan Adit justru seolah-olah mulutnya terkunci. Dan hanya kata maaf yang berhasil lolos dari sana. Biarlah, yang sudah terjadi biarlah berlalu. Mungkin lain kali, Windu dapat menjelaskannya pada pria itu.

Setelah dirasa cukup baginya mengadu pada langit, Windu segera menutup jendelanya rapat-rapat. Menghampiri bunganya sebentar untuk mengucapkan selamat malam, lalu beranjak ke kamar mandi, gosok gigi,cuci tangan sekaligus kaki dan bersiap untuk tidur.

" Lo hebat Ndu, hari ini lo nggak nangis," ucap Windu saat ia sudah berbaring di ranjangnya. Ia sudah bersiap untuk tidur namun matanya rupanya masih enggan untuk terpejam.

Windu jadi teringat peristiwa di malam ulang tahunnya. Ia menangis sesenggukan hanya karena ucapan Adit yang terasa begitu menyakitkan. Sebenarnya wajar saja Adit berkata seperti itu, toh dia memang terkenal sangat dingin di kantor. Tapi kenapa seberpengaruh itu baginya? Dan soal promosi, nah sebenarnya itu yang membuatnya menangis sesenggukan. Bagaimana tidak, semua karyawan di kantor bisa melihat sendiri bagaimana kinerja Tari. Ia sebenarnya tidak berkompeten di bidang itu. Windu bahkan berpikir akan lebih baik jika Tari menjadi artis saja karena penampilannya di kantor layaknya selebriti papan atas. Bahkan pekerjaannya selalu dilimpahkan pada Winy.

Ahhh... Windu mengantuk. Ia tak mau lagi mengingat malam itu. Sungguh memalukan, bahkan ia sampai mengorbankan perasaan keluarganya. Ulang tahunnya jadi lebih tak spesial lagi karena itu.

" Huufptt... Ya Allah, berikanlah kemudahan bagi Windu untuk menjalani hari-hari Windu ke depannya. Amin, " Windu menarik selimut dan mulai memejamkan mata. Tak lupa ia memeluk bantal guling kesayangannya.

The Curse of First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang