Menerima
Keterbukaan dan kelapangan
Itu komposisinya...
Aku... Iya aku
Hanya sebuah kisah pilu
Yang sedang menunggu sebuah penerimaan
Mengulik kisahku, silahkan
Agar semesta tahu ada seorang anak manusia, yang sedang menunggu kelapangan hati yang tulus***
Suasana kafe terlihat cukup ramai sore itu, hampir semua meja sudah terisi oleh para pengunjung kafe. Hal itu membuat para pegawai kafe nampak sibuk kesana kemari menghampiri satu per satu meja untuk memberikan pelayanan terbaiknya. Kebanyakan dari pengunjung di sana adalah mahasiswa mahasiswi yang datang untuk sekedar melepas penat akan banyaknya tugas kuliahnya, dan beberapa diantaranya adalah karyawan-karyawan kantor yang sedang berusaha mengistirahatkan kepalanya akibat banyaknya pekerjaan yang dikejar deadline di kantornya. Lokasi kafe yang cukup strategis, karena letaknya yang tidak jauh dari lingkungan perkantoran dan kampus membuat tempat itu memang selalu ramai pengunjung setiap harinya, terutama saat weekend.Tempat dengan perpaduan warna pastel yang lembut dan material papan kayu berwarna coklat muda yang mendominasi, mampu membuat kerja otak yang berat perlahan-lahan menjadi rileks. Adanya live music di kafe itu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Alunan suara musik dan merdunya nada per nada yang dinyanyikan sang vokalis, mampu dengan mudah membuat para pengunjung lupa sejenak akan segala macam problematika dalam hidupnya. Ditambah suara rintik hujan yang dengan derasnya jatuh membasahi bumi, seakan-akan membuat suasana berubah layaknya novel bergenre romansa. Apapun yang berbau masalah, seakan-akan lenyap jika disajikan dengan perpaduan manis semacam itu.
" Aku malu, " bisik Windu yang dengan susah payah mendekat ke arah telinga Reza, memastikan pria itu benar-benar akan mendengar ucapannya.
Mereka kini tengah duduk pada sebuah kursi panggung dengan stand mic di depannya. Jika Reza duduk dengan penuh percaya diri, karena mungkin memang itu adalah pekerjaan sehari-harinya, berbanding terbalik dengan gadis di sampingnya. Gadis itu terlihat sangat tegang, dengan pandangan yang selalu menunduk, dan tangan yang sibuk memilin jaketnya.
Menyanyi memang bukan hal yang asing bagi Windu. Tapi, ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ia menyanyi di hadapan banyak orang. Mungkin terakhir kali saat ia ikut berpartisipasi dalam pagelaran seni di kampusnya. Setelahnya, ia seperti fakum dalam hal menyanyi. Ia juga lupa rasanya memegang mic seperti apa, dan mungkin ia akan kembali diserang demam panggung. Sebuah demam yang pernah ia rasakan saat ia pertama kali naik panggung dan bernyanyi di sana, dan itu terjadi tepat saat ia duduk di kelas 2 SD.
" Sejujurnya, aku tidak ingin orang lain menikmati indahnya suaramu Ndu. Tapi, aku akan terlihat sangat egois jika seperti itu. Aku tahu, menyanyi adalah salah satu bagian dari hidupmu. Tunjukan kembali saat ini Ndu, jangan pendam lagi apapun keindahan yang ada pada diri kamu. "
Windu terbungkam saat Reza membisikkan kalimat-kalimat yang seakan-akan membius kesadarannya. Kalimat itu keluar diringi oleh hembusan nafas lembut Reza yang dapat terdengar jelas di telinganya. Pria itu sungguh sangat misterius. Dari mana lagi ia tahu menyanyi adalah bagian dari hidup Windu? Windu tak merasa ia menceritakan hal itu padanya, bahkan ia sangat irit bicara dan berusaha menghindari perbincangan dengannya.
" Mau lagu apa? " tanya Reza pada Windu yang masih terpaku pada tatapannya. Reza kini tak lagi berbisik, ia berbicara tepat di depan wajah tegang Windu.
Windu segera menormalkan dirinya, ia berusaha sadar dan beranjak dari tatapannya.
" Terserah, aku terserah kamu, " ucap Windu yang kemudian dibalas anggukan oleh Reza.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse of First Love
Romantik" Ahhh yaaa... Hampir saja aku lupa, meski kamu adalah cinta pertamaku, tapi itu bukan berarti kamu adalah cinta terakhirku. " Dan ini kisahku, Windu Raeswara.