Lemah seperti tak bertulang
Saat aku tahu, dengan mudahnya kau bertunduk di depannya...
Sedang aku,
Hanya menatap kosong
Mencari kemana dan pada siapa rindu ini akan berlabuh
Kali ini, sang waktu dan semesta tengah bersekongkol menyudutkanku***
Windu masih dibuat ternganga dengan pemandangan yang nampak jelas terpampang nyata di hadapannya. Pemandangan semacam itu selama ini hanya hinggap sebagai khayalan dan angan-angan di kepala Windu semata. Bahkan untuk datang ke store alat musikpun Windu belum pernah, karena ia tahu pasti tak akan membeli satupun barang yang dijual di sana. Mentok-mentok paling ia hanya datang ke tempat rental band bersama teman-teman sesama musisinya dulu semasa kuliah. Ruang musik di kampusnya dulu bahkan lebih buruk dari ruang musik saat ia SMA. Jadi, wajar saja jika Windu sampai melongo dan takjub saat melihat puluhan gitar dengan harga fantastis berjejer di hadapannya. Rupanya, bukan hanya gitar yang dikoleksi Reza, ada beberapa alat musik seperti piano, drum, kajon juga terdapat di sana. Namun, yang paling membuat Windu melongo adalah saat Reza tiba-tiba meraih salah satu gitar,mengambilnya dari tempatnya, dan menimangnya, sembari mengatakan pada Windu kalau gitar itu adalah gitar impian Windu. Mungkin Reza hanya menebak-nebak saja, tapi tebakannya itu justru sangat tepat. Gitar itu adalah gitar yang membuat Windu memiliki celengan kodok di kamarnya. Reza benar-benar pria yang misterius. Ia bahkan seperti cenayang.
" Dari mana kamu tahu kalau gitar itu adalah gitar impianku? " Windu berjalan pelan mendekat ke arah Reza. Ia memasang ekspresi bingung sekaligus menuntut.
" Jadi aku benar? Padahal aku tadi hanya menebak-nebak saja, " Reza melirik ke arah gadis yang kini sudah berdiri di depannya. Mata gadis itu tak mengarah padanya, melainkan pada gitar yang sedang ia pegang. Bahkan, ia kalah dengan sebuah gitar.
" Mau memainkannya? "
Windu terkesiap saat Reza menyodorkan gitar itu padanya. Refleks, ia melangkah mundur satu langkah. Ia bahkan tak menyadari jika sedari tadi jaraknya dengan pria itu sangat dekat.
" Nggak. Aku nggak bisa main gitar," ucap Windu bohong. Ia memang tak mahir bermain gitar, tapi ia bisa memainkannya.
" Bagaimana kalau aku ajarkan kamu bermain gitar? Tanganmu tak terlalu lentik, jadi tak ada pertimbangan untuk berlatih memainkan gitar. "
Iyakah? Windu dengan cepat melirik jari-jarinya. Ahh yaaa.. Memang semua bagian dari tangannya bisa dikatakan jauh dari kata lentik. Reza benar, tapi bukankah itu terdengar sangat menyakitkan?
" Aku nggak mau. Mungkin nanti jika aku sudah bisa membelinya, baru aku akan berlatih untuk memainkannya," Windu berjalan pelan mengitari ruangan yang bahkan dua kali lebih luas dari kamarnya itu. Matanya tak lepas mengamati benda yang kebanyakan terbuat dari kayu berkualitas jempolan. Ia jadi ingat masa-masa di mana ia pertama kali berani memetik satu senar gitar yang dulu sempat menjadi hal yang sangat menakutkan baginya. Beruntung, ada seseorang yang saat itu dengan sabar dan telaten selalu mendampinginya. Membuat apa yang terlihat menakutkan bagi Windu, seketika berubah menjadi hal yang begitu menyenangkan. Menyangkut apapun tentang musik, pasti tak akan jauh-jauh dari dia.
" Kalau begitu, gitar ini jadi milikmu sekarang. "
Windu menoleh ke arah Reza dan menatapnya lekat, " maksudmu? "
" Gitar ini jadi milikmu. Yaa itung-itung sebagai hadiah karena kamu adalah tamu pertamaku di rumah ini. "
Windu menyipitkan matanya, ia tak lagi memikirkan soal gitar, tapi ia lebih tertarik dengan kalimat terakhir yang Reza ucapkan. " Tamu pertamaku di rumah ini? " Apa maksudnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse of First Love
Roman d'amour" Ahhh yaaa... Hampir saja aku lupa, meski kamu adalah cinta pertamaku, tapi itu bukan berarti kamu adalah cinta terakhirku. " Dan ini kisahku, Windu Raeswara.