17 - Percayalah

108 15 0
                                    

Bismillaahirrahmaanirrahiim


"Di, tadi jam sembilan pagi. Ada laki-laki nyariin Salsa. Dia ngaku temen Salsa. Kalo temennya aja nyariin Salsa. Terus, sekarang dia ada dimana?." Raut cemas begitu kentara diwajah Tari.

Aldi mengalihkan pandangan dari laptop ke Ibunya yang datang membawakan air putih hangat. Pekerjaannya saja di Restoran belum selesai, kini pulang langsung dijejali pertanyaan yang belum ada jawabannya.

"Tenang aja Bu, Salsa pasti ketemu." Jawab Aldi dengan senyum penuh ketenangan.

Tari menghela nafas kasar. "Tenang?. Kalo Salsa itu laki-laki, Ibu nggak akan secemas ini Di. Dia itu perempuan, dan dia nggak tau sejahat apa dunia ini."

Aldi menarik tangan Ibunya. Ia memegang erat. "Kita doakan saja keselamatannya. Allaah yang akan jaga Salsa Bu."

Raut cemasnya perlahan memudar. Tari sampai lupa bahwa Allaah yang memilik, berkuasa, segalanya. Dan apapun nanti yang akan terjadi pada Salsa, semua atas kehendak Allaah. Dia dan Aldi, hanyalah hamba.

"Allaah akan menjaga mata airNya Bu."

Mata Tari berkaca-kaca.

"Ya Allaah." Aldi kembali meraup muka gusar.

"Kamu lagi treatment kecantikan apa Di? Rajin banget ngusap mukanya." Althaf datang menepuk bahu Aldi yang langsung kejang karena kaget. Ia mengambil tempat duduk disamping Aldi.

Aldi menghembus nafas lega. Tangan menepuk pelan dada, menenangkannya. Ia kira siapa yang menepuk bahunya tiba-tiba begitu. Ba'da Isya ini sepi, ia sedang beri'tikaf. Tidak menutup kemungkinan kan?. Fikiran begitu semrawut. Tiba-tiba Setan muncul semangat 45 untuk menjerumuskannya.

Subhanallaah, Aldi sampai berfikir jauh seperti itu. Tidak penting pun difikirkan!. Gegar otak dah!.

"Lucu sekali. Oke, aku ketawa nih." Aldi tertawa hambar karena tidak sedang tertawa yang sebenarnya.

Althaf menaikkan satu alis. "Hey. Aku serius nanya. Kemaren aku liat Maya mijit-mijit mukanya. Pas ditanya, katanya lagi treatment kecantikan. Siapa juga yang nglawak."

Aldi menghentikan aktingnya. Menatap datar Althaf. "O."

Bola mata Althaf menatap atas. Ingin bertanya sesuatu yang membuatnya begitu segan. Pantas kah bertanya disaat seperti ini?. Sejenak, fikirannya terus bergulat. Kemudian ia berdehem, memecah keheningan diantara mereka.

"Thaf. Udah nemuin tambatan hati belum?."

Althaf menutup mulut yang terbuka karena ingin bicara, tapi sudah ditancap gas duluan oleh Aldi. Pertanyaan yang aneh lagi.

"Yaa nggak ngebet juga Di." Keduanya terkekeh.

"Salsa gimana? Udah ada perkembangan?." Althaf menyela dengan pertanyaan yang barusan membuatnya segan.

Aldi tersenyum tipis. "Alhamdulillaah ada, ternyata dia nggak ilang sama temennya. Salsa menghilang sendiri. Itu yang buat aku nambah susah cari koneksi keberadaannya."

Althaf merasa ada yang janggal. "Kenapa nggak minta bantuan aja sama Polisi, lebih mudah kan?."

Untuk itu, Aldi menghembus nafas gusar. Sejujurnya, ia tidak ingin membahas tentang Polisi. Itu mengingatkannya kala disindir halus oleh Nek Siti. Nanti kalau Althaf mengetahuinya, entah apa responnya.

"I know ur worry about it and I know ur dont like saying anything about it. It's Okayy Bro, relax. Masalahmu adalah masalahmu. Masalahku adalah masalahku. Pesen aku Di. Trust Allaah of anything happen, right?."

Merajut ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang