21 - B.S

161 17 3
                                    

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Usai jamaah Jahriyah Isya' atau shalat jamaah yang melantangkan suara, wirid, dan membaca surah Ar Rahman, Nuh dan Al Mulk. Aldi bergegas pulang, mengendarai kendaraan beroda duanya. Sempat mengobrol sejenak dengan Pak Sofyan yang sibuk mematikan lampu dan menyapu lantai luar Masjid. Pria paruh baya itu, biasanya merapihkan bagian luar-dalam Masjid tidak sampai pada pelataran, lalu kekamar Marbotnya yang berada dibelakang Masjid.

Akhir-akhir ini, Aldi lebih menghabiskan waktu di Masjid. Datang ke Restoran bila ada hal penting saja. Aldi merasa Imannya lemah, mudah saja terhasut bisikkan Setan. Masalah ini sungguh mengujinya. Mendekatkan diri pada Allaah, adalah penenang mujarabnya.

Masih teringat nasehat indah dari Ustadz Yahya kala itu usai pemakaman almarhum Nek Siti. Dengan senyum indahnya, tangan menepuk pundak, beliau berkata;

"Jalan Iman itu akan membuat kita akrab dengan kesabaran, dan bersahabatkan dengan ujian."*

Ustadz Yahya seperti bisa membaca perasaannya saat itu. Apakah wajah kusutnya kala itu sangat kentara?. Aldi bisa menyakini opininya itu benar. Ia terlampau stress atas kematian Nek Siti. Karena, Aldi begitu sadar akan tanggungjawabnya jika Nek Siti meninggal. Salsa.

Aldi menghembuskan nafas gusar seraya beristighfar, lalu tasbih Nabi Yunus alaihissalam terucap, diakhiri istiadzah**. Salah satu cara menyadarkannya agar tidak berlebihan menghadapi ujian yang Allaah berikan padanya.

Usai memarkirkan motornya di serambi rumah. Knop pintu rumah dibuka sembari memberi salam. Jawaban salam serempak membuat tubuhnya terkejut, bukan hanya Ibu saja diruang tamu, Althaf juga ada disitu dengan wajah yang tak lekang dari senyum.

"Althaf?. Tumben, ada apa nih?." Aldi menutup pintu rumah membiarkan motor masih di serambi rumahnya. Ia berjalan mendekati keduanya lalu duduk. Bersikap tidak terjadi apapun dalam dirinya.

Althaf berdehem. "Aku mau memberi bantuan sama kamu, selaku sahabat." Penuh yakin, Ia to the point.

"Bantuan apa?."

Althaf membetulkan duduknya. Ia mulai ingin berbicara serius. Menatap dalam netra Aldi. "Maaf Di, aku udah nglaporin kehilangan Salsa sama Polisi. Besok, mereka ingin bertemu sama kamu."

"Apa?. Thaf, aku nggak suka perbuatan kamu kayak gini. Mungkin kamu lupa, Salsa itu tanggungjawab aku. Aku yang akan ngurus semua ini, nggak ada sangkut pautnya sama kamu."

Aldi naik angin. Ia merasa terlihat sangat lemah sampai sahabatnya ingin memberi bantuan. Apapun yang terjadi, Aldi tidak ingin merepotkan orang dengan masalahnya. Ia tidak ingin dikasihani manusia.

Tari membisu resah, menatap Aldi dan Althaf bergantian. Ia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.

"Di, ini namanya ikhtiar. Nggak salah kalo kita nyerahin kasus ini sama pihak berwajib, itu tugas mereka. Semakin lama kamu nggak nemuin Salsa, semakin sulit juga kita bisa nemuin Salsa. Memang nggak ada sangkut pautnya sama Althaf, tapi ada sangkut pautnya sama saudara seiman." Jelas Althaf penuh sabar agar Aldi mengerti maksudnya.

Aldi menghela nafas, emosinya sudah bisa terkendali. "Sebaiknya, kamu fokus aja Thaf sama proyek Pesantren Tahfidz kamu."

Althaf mengerti maksud perkataan Aldi yang menyindir kesibukannya sekarang. Namun, ia tidak tega melihat Aldi lemah seperti itu. Althaf ingin membantu saja. Meringankan beban sahabatnya.

"Ah itu, Alhamdulillaah udah mulai proses. Nah! Justru itu Di, aku nggak bisa fokus kalo sahabat aku sedang berjuang sendiri menghadapi masalahnya. Aku lega kalo bisa bantu kamu." Althaf tersenyum simpul.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Merajut ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang